Senin, 01 Mei 2017

“TRADISI NUSA TENGGARA BARAT”



TUGAS
ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR
“TRADISI NUSA TENGGARA BARAT”

Disusun Oleh :
Kelompok 3 (B13.2)
1.         Yunian sari                       (16140200)
2.         Yusti Astri Delita             (161402)
3.         Eka Putri Ayu                   (16140198)
4.         Reka Tri Wahyuni             (161402)
5.         Pratiwi Atmanegara          
6.         Nur Fitriani
7.          


PRODI DIV BIDAN PENDIDIK
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA
TA 2016/2017



1.  KIRI LOKO (Nuju Bulan)
Tradisi Kiri Loko dilakukan saat usia kandungan memasuki bulan ketujuh. Di usia itu, bayi dalam kandungan calon ibu telah utuh menjadi seorang manusia yang tengah berkembang semakin matang dan siap untuk dilahirkan pada saatnya tiba. Dalam prosesi Kiri Loko, terdapat sekali simbol dan makna kehidupan pada setiap tahapan prosesnya. Mulai dari kain tujuh lapis yang diatasnya daun pisang termuda dan kain putih yang dipakai sebagai alasa tidur oleh ibu hamil selama proses berlangsung. Tujuh lapis kain ini melambangkan bahwa kehidupan manusia itu betapa tinggi nilainya serupa tujuh lapis langit dan bumi yang kerap diumpamakan terhadap alam semesta ini. Kain putih sebagai pelapis atas tujuh kain tersebut, sebagai simbol bahwa manusia lahir dalam keadaan putih dan bersih dari segala dosa.

.Nama Tradisi

KIA
Tujuan
KIRI LOKO 

Nuju Bulan

KEHAMILAN
Memberikan kekuatan dan semangat kepada calon ibu yang baru pertama kali akan mengalami proses luar biasa dalam hidupnya, yaitu melahirkan.

Urutan Tahap-Tahap Tradisi :
Diawali dengan do’a bersama oleh para ibu memohon kepada Allah SWT agar sang ibu bersama bayi dalam kandungan selalu dalam keadaan sehat wal afiat. Karena itu upacara ini dinamakan upacara Salama Loko atau selamatan Perut.
Seusai berdo’a, maka Sando Nggana menggelar tujuh lapis sarung, kemudian ditutupi dengan kain putih. Pada setiap lapis sarung disimpan uang perak dan beras kuning. Tujuh lapis sarung sebagai simbol tujuh lapis langit dan tujuh lapis tanah tempat manusia hdup di dunia. Tujuh lapis sarung juga mengandung makna bahwa manusia akan mengalami kehidupan dalam tujuh tahap yaitu masa dalam kandungan, masa bayi, masa anak–anak, masa dewasa, masa tua, hidup di alam kubur dan yang terakhir hidup di alam baqa (akhirat).
Kain putih sebagai simbol keikhlasan seorang ibu dalam mengasuh dan mendidik putra–putri serta dalam mengemban tugas sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga. Beras kuning adalah lambang kesejahteraan dan kejayaan keluarga dan uang perak mengandung makna sebagai modal dalam kehidupan.
Pada waktu yang ditentukan diawali bacaan Basmallah diikuti dengan shalawat, sang ibu tidur di atas hamparan kain putih yang telah disediakan. Sando Nggana mengoles dan mengurut perut sang ibu dengan sebutir telur yang telah diminyaki dengan minyak kelapa yang masih baru. Hal ini dikandung maksud agar sang bayi berada dalam posisi yang normal dan juga urat–urat perut ibu tidak berkerut. Pengolesan perut dilakukan secara bergilir oleh Sando Nggana kemudian diikuti oleh para tokoh adat perempuan.
Setelah itu Sando Nggana memandikan sang ibu dengan air dingin yang dicampur dengan Wunta Mundu (kembang melati), Wunta Kananga (kembang kenanga) dan wunta jampaka (kembang cempaka). Hal itu dilakukan sebagai simbol pengharapan seluruh keluarga agar sang ibu bersama sang bayi beserta seluruh keluarga mampu mengharumkan nama sanak saudara dan keluarga.
Kemudian Sando Nggana bersama para ibu menabur beras kuning ke hadapan para tamu sambil membagi–bagikan uang sedekah kepada anak–anak yang sudah menunggu di halaman rumah. Upacara ditutup dengan menikmati bersama “Mangonco” (Rujak) dan berbagai jenis kue tradisional dengan diakhiri pembacaan do’a.
  
Analisis Kebudayaan Yang Berkaitan Dengan Kebidanan:
Dilihat Dari tujuan Tradisi ini Yang Begitu baik yaitu Memberikan kekuatan dan semangat kepada calon ibu yang baru pertama kali akan mengalami proses Melahirkan, Maka Dalam Pandangan kebidanan ini merupakan Tradisi Yang patut kita pertahankan dan tetap slalu kita lestarikan akan tetapi Ketika selesai rangkaian acara dari tradisi ini kita menghawatirkan calon  ibu nya sendri kelelahan sehingga berdampak tidak baik pada janinnya sendiri, dan yang perlu diperhatikan juga slama proses tradisi ini berlangsung diusahakan calaon ibu  harus slalu berhati hati karenameminimalisisir terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan sebab hampir keseluruhan rangkaian dari tradisi ini slalu ada campur tangan dari calon ibu.



2. TOSI WOKE (Memotong Tali Pusar)
Sebuah tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat bima pada saat proses klahiran anak mereka. Tradisi ini sama halnya seperti pemotongan tali pusar paa umumnya akan tetapi yang memebedakannya masyarakat di pelosok bima dalam memotong tali pusar masih menggunakan bantuan dari sando atau duku bayi, biasanya dukun bayi masih menggunakan alat sederhana yang diambil dari geri  o’o (sembilu bambu) yang sudah disterilkan dengan huni ro afu (kunyit dan kapur sirih). 
.Nama Tradisi

KIA
Tujuan
TOSI WOKE

Memotong Tali Pusar

BAYI BARU LAHIR
untuk memisahkan bayi dengan ari-arinya.

Urutan Tahap-Tahap Tradisi:
Setelah Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan seperti geri  o’o (sembilu bambu) yang sudah disterilkan dengan huni ro afu (kunyit dan kapur sirih), selanjutnya memotong tali pusar dengan mengalaskan tangan dibawah tali pusar atau diatas perut bayi.
Ke,udian memisahkan bayi dengan ari-arinya, proses selanjutnya membersihkan ari-arinya lalu menguburkan di kolong rumah tinggal atau ada pula yang memasukkan dalam periuk tanah yang baru, setelah ari-arinya dicampur dengan abu dapur disimpan di atas pohon.
                                                                     
Analisis kebudayaan yang berkenaan dengan kebidanan:
Secara umum dari tradisi ini banyak dampak negative yang akan timbul, Hal ini dikarenakan Penggunaan alat pemotong yang tidak steril dan bisa saja alat pemotong dari bambu tersebut juga tidak begitu begitu tajam sehingga akan berdampak buruk dan karena ketidak setrilnya juga bisa menyebabkan kesakitan, Memar, dan infeksi kepada Bayi Bahkan Kematian, Sehingga tradisi ini sering di larang karena memang meningkatkan angka kematian Bayi Lebih Banyak lagi.


3.  Wa’a di Oi ( Turun Mandi)
      Tradisi Ini biasanya dilakukan setelah tali pusar bayi kering dan lepas dari badan bayi. bayi tidak boleh di mandikan lagi di rumah saatnya wa’a di oi (turun mandi) ke sungai atau ke sumber mata air di luar rumah.
Dalam perjalanan bayi selalu digendong oleh wai sando dengan memakai kain gendongan yang dibuat dari kain putih (weri), setelah diberi warna kuning dari kunyit agar steril.
Perlengkapan lain yang diperlukan adalah sebuah pisau khusus yang mempunyai mata bercabang-cabang disebut piso tawoa. Pada tiap-tiap mata pisau ditusuki dengan tawoa, huni, soku, ro ncuna (bangle, kunyit, kencur, dan bawang putih). Pisaunya juga telah dicoret-coret dengan kapur sirih dan kunyit menjadi belang-belang merah dan putih.
Pisau untuk bayi ini melambangkan bahwa kehidupan mulai dari bayi hingga dewasa ramu-ramuan itulah yang berfungsi sebagai obat tradisional, dan sebilah pisau sebagai salah satu alat terpenting dalam kehidupannya sehari-hari.

.Nama Tradisi

KIA
Tujuan

Wa’a di Oi

Turun Mandi



BAYI BARU LAHIR

Untuk Membersihan Roh Roh jahat dan Membersihkan bayi dari kesialan.

Urutan Tahap-Tahap Tradisi:
Membawa bayi ke sungai yang dituju dengan tetap slalu menggendong bayi akan tetapi seseorang yang menggendong sudah membawa alat dan bahan untuk menangkal roh roh jahat, kemudian bayi dimandikan disungai sperti biasanya lalu bayi diselimuti oleh Ibunya, Kemudian bayi dibawa kembali di rumah.



Analisis kebudayaan yang berkenaan dengan kebidanan:
Tradisi ini dikhawatirkan akan meningkatkan lebih banyak lagi kasus tentang angka kematian pada bayi, dikarenakan pada saat memandian bayi baru lahir di sungai, menyebabkan suhu tubuh bayi menurun seketika apa lagi bayi baru lahir yang  belum terbiasa beradaptasi di lingkugan luar karena biasaya 9 bulan 10 hari dia berada dalam rahim ibunya yang dimana suhunya lebih hangat.

4. CAFI SARI ( Menyapu Lantai)
Secara harfiah cafi sari berarti menyapu atau membersihkan lantai. Pengertian cafi sari menurut adat Bima-Dompu adalah usaha awal dilakukan oleh orang tua agar sang bayi selalu menjaga kebersihan lahir bathin termasuk kebersihan lingkungan.
Tidak hanya itu, makna yang terkandung dalam ritual ini adalah pola hidup bersih dan sehat mulai dari makanan, minuman, lingkungan, kebersihan badan dan juga niat yang tulus dalam menjalani kehidupan dunia menuju akhirat.
Bagi keluarga yang mampu, upacara cafi sari dilaksanakan bersamaan dengan upacara qeqa atau aqiqah. Yaitu upacara yang sesuai dengan ajaran Islam. Yang menganjurkan orang tua untuk menyembelih seekor kambing yang sehat.  Sebagai tanda syukur kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
.Nama Tradisi

KIA
Tujuan


CAFI SARI



Menyapu Lantai




BAYI BARU LAHIR
menyampaikan puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya karena sang ibu bersama bayi sudah lahir dengan selamat. Menurut kepercayaan tradisional pada usia tujuh hari, bayi akan memasuki kehidupan dunia, dan meninggalkan kehidupan dalam kandungan.

Urutan Tahap-Tahap Tradisi:
        Mengawali dengan syukran berupa membaca doa dan sholawat Nabi, Dilanjutka dengan membiarkan kaki bayi menyentuh tanah, kemudian memotong sedikit Rambut Bayi yang dimana bayi di gendong oleh sang ibu dan yang melakukan pemotongan rambut adalah sang bapak akan tetai tetap di damping para bapakbapak yang memang terbiasa sebelumnya, selanjutnya Memberi nama pada bayi baru menutup acara dengan keluarga menyembelih Kambing an membagi dagingnya ke para tetangga sebagai  rasa syukur karena anak dan ibu telah melewati masa persalinan.

Analisis kebudayaan yang berkenaan dengan kebidanan:
          Dari tradisi ini tujuannya sangat baik karena memberikan ksesmpatan kepada keluarga yang baru memperoleh anak membagi kebahagiaan kepada para keluarga maupun tetangga, akan tetapi dalamt radisi ini yang perlu di khawatirkan ketika memotong rambut bayi ada kesalahan akibat ketidak hatian sang bapak, sehingga terjadi hal hal yang membahayakan bayi, selain itu juga pada saat kaki bayi dibiarkan menginjak tanah di khawatirkan bayi terkena infeksi bakteri maupun virus, karena factor tanah yang kotor dan sebagainya.

5. NDOSO (Sunat Perempuan)
    Sampai saat ini Sunat Perempuan pada balita masih di lakukan. Tradisi ini dilakukan masyarakat perdesaan yang memang masih memegang teguh adat istiadat serta sunah sunah rasul.
.Nama Tradisi

KIA
Tujuan
NDOSO

Sunat Perempuan






BALITA
Menegakkan sunah Rasul.


Urutan Tahap-Tahap Tradisi:
         Mempersiapkan semua alat maupun bahan yang akan digunakan teruama Loyang besar dan bersih yang dimana sudah disimpan bantal yang beralas daun Pisang bersih diatasnya, pada saat pemotongan berlangsung Balita perempuan di biarkan duduk di atas Loyang tersebut.

Analisis kebudayaan yang berkenaan dengan kebidanan:
            Tradisi ini memang sudah dilarang oleh pemerintah karena dampak negative yang ditimbulkan kepada sang balita perempuan yaitu akan terjadi infeksi pada alat kelamin balita tersebut karena alat yang digunakan yang kurang steril dan bisa juga karena kekurang hatian dari sando atau dukun anak.

6. UPACARA KAPANCA
      Tradisi yang dialakukan pada saat anak memasuki masa pra sekolah, biasaya dilakukan pada malam hari dan pada pelaksanaanya wajib ada soji atau sesajen yg berupa kue khas daerah bima. Upaca ini juga diiringi dengan Zikir Kapanca yaitu zikir dan sholawat nabi Yang dilakukan oleh para laki laki dewasa ataupun tua.

.Nama Tradisi

KIA
Tujuan

UPACARA KAPANCA


ANAK -ANAK

Untuk Mengusir roh roh jahat dan Mencegah Agar kelak ketika Remaja sang Anak tidak Bertingkah seperti Orang yang tidak Waras.

Urutan Tahap-Tahap Tradisi:
Dimulai dengan memandikan anak-anak tersebut, memakai baju khusu utuk upacara kapanca, kemudian anak akan di biarkan duduk di atas tempat yang disediakan yang di kelilingi oleh para bapk bapak yang melakukan zikir kapanca, setlah itu baru di kasi soji atau sesajen kepada sang anak. Dan di akhiri dengan membaca doa.
Analisis kebudayaan yang berkenaan dengan kebidanan:
Dikhawatirkan sang anak kelelahan karena mengikut upacara adat yang semalaman sehingga akan mengganggu kesehatan sang anak itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar