SEJARAH DAN POTENSI WISATA DAERAH BIMA
Bima
adalah daerah yang terletak di pulau sumbawa, di provinsi NTB. Bima mempunyai
banyak tempat wisata yang tidak kalah bagus dari tempat wisata di pulau-pulau
lainnya mengingat Bima dikelilingi oleh lautan yang luas, namun karena tempat
di Bima tidak terlalu di urus dan tidak terlalu terkenal seperti lainnya
membuat wisatawan jarang datang ke daerah ini, kalau di lihat dari Budaya dan
Sejarah, Bima mempunyai sejarah yang amat terkenal dan Budaya-Budayanya pun masih
kental, tidak seperti kota lainnya yang sudah modern sehingga budaya-budayanya
sudah hilang sedikit demi sedikit, berbeda dengan Bima, budaya-budayanya pun
masih dijunjung tinggi oleh masyarakatnya bahkan masih ada daerah-daerah yang
benar-benar kental dengan budayanya seperti di Desa Sambori contohnya, disana
masyarakatnya benar-benar kental dengan Adat dan Budaya di jaman dulu, Bima
sangat cocok untuk wisatawan yang ingin meneliti dan menikmati budaya-budaya
jaman dulu.
Bima
itu Mbojo mengandung makna bahwa orang-orang yang merasa dilahirkan dan
dibesarkan dari peradaban tanah ini harus bersatu padu membangun daerah tanpa
harus dipisahkan oleh sekat-sekat birokrasi, kepentingan politik maupun wilayah
yang telah dimekarkan.
Mbojo
adalah sesuatu yang bulat dan utuh yang dihasilkan melalui kesepakatan para
Ncuhi sebagai cikal bakal terbentuknya wilayah ini. Dengan Kata lain, bahwa
Orang-Orang Mbojo atau Dou Mbojo adalah orang-orang yang bersatu, memegang
teguh amanat, ulet dan pekerja keras. Untuk itu lah, Bima itu Mbojo memberikan
gugahan makna kebersamaan, persatuan dan kesatuan serta persaudaraan yang
kental seluruh elemen di Dana Mbojo. Terpanggil untuk memperkenalkan daerah
Bima/ Mbojo kepada Masyarakat Luar dan lebih-lebih kepada Dou Mbojo itu sendiri
agar tidak merasa asing akan daerah Bima / Dana Mbojo.
Berikut
ini kami coba sajikan secara acak berbagai Sejarah, Tradisi, Wisata / potensi
wisatanya yang kami rangkum dari berbagai tulisan dan narasumber sebagai
berikut :
BENTENG ASA KOTA
Di
Pintu masuk Kota Bima, tepatnya di teluk Bima sebelah utara terdapat sebuah
benteng. Masyarakat Bima menyebutnya dengan Benteng Asa Kota. Karena letaknya
tepat di laut sempit yang menjadi pintu masuk Bima lewat jalur laut.Benteng ini
penuh dengan romantika sejarah.
Karena
tidak setuju terhadap isi perjanjian Bongaya, Sultan Abdul Khair Sirajuddin
bersama Panglima perang Makassar Karaeng Popo meninggalkan Makassar dan
membentuk kekuatan armada angkatan laut Bima. Bagi Abdul Khair Sirajuddin
mentaati perjanjian Bongaya sama dengan bunuh diri dan tunduk pada Kompeni.
Selama
pelariannya dari Makassar dua pendekar itu menyerang, merampas dan
menenggelamkan kapal-kapal Kompeni karena kesal atas trik dan siasat adu domba
Kompeni yang memaksa iparnya Sultan Hasanuddin harus menandatangani perjanjian
Bongaya yang syarat dengan ketidak adilan. Di dalam perjanjian tersebut
terdapat lima pasal yang berhubungan dengan Bima. Dan salah satu pasalnya
adalah menangkap Abdul Khair Sirajuddin hidup atau mati.
Benteng
ini dibangun pada sekitar tahun 1667 di sebuah pulau kecil yang diberinama Nisa
Soma. Tepat dipintu masuk teluk Bima yang diberinama ASA KOTA( Asa= Mulut, Kota
= Kota). Jadi Asa Kota merupakan pintu masuk menuju Bima dengan melewati Teluk
Bima yang indah, tenang dan damai. Benteng Asa Kota dibangun dari tumpukkan
batu-batu besar dan kecil yang disusun rapi mengelilingi Nisa Soma seluas lebih
dari 1 hektar.
Pembangunan
Benteng Asakota dihajatkan untuk mengintai dan menghalau kapal-kapal Kompeni
yang memasuki wilayah Bima dan merupakan basis pertahanan armada Angkatan Laut
kerajaan Bima yang bernama Pabise. Bila ari laut surut, maka benteng Asa Kota
dengan daratan di sekitarnya terlihat menyatu. Penduduk sekitar sering mendaki
bukit di Nisa Soma ini untuk mencari kayu bakar.
Benteng Asa Kota adalah peninggalan
berarti dari perjalanan sejarah Dana Mbojo dan merupakan salah satu benda cagar
budaya yang dilindungi undang-undang. Benteng ini kondisinya sekarang cukup
memprihatinkan dan membutuhkan renovasi dan rekonstruksi sesuai bentuk aslinya
sebagai sebuah kenangan sejarah untuk generasi mendatang.
ASI MBOJO ( ISTANA BIMA )
Museum
Asi Mbojo (Bima)
Bima-Raba
adalah ibu kota kabupaten yang selalu menjadi tempat persinggahan dan menghubungkan
daerah timur,tengah dan barat dari Indonesia. Dengan mengunjungi Istana
Kesultanan terlebih dahulu kita akan ditunjukkan barang-barang bersejarah yang
menarik, seperti mahkota kesultanan dan beberapa keris yang bersarung emas
dengan tangkai yang terbuat dari gading.
Bangunan
yang dulunya merupakan pusat Kesultanan Bima dan pusat Pemerintahan Kabupaten
Bima pada tahun 1950 masih berdiri dengan kokoh dan tegap yang merupakan symbol
Dana Mbojo (Bima), atau lebih dikenal dengan nama Asi Mbojo. Dan kini oleh
Pemerintah setempat dijadikan sebagai Museum, awal dibangunya Asi Mbojo (Istana
Bima) pada tahun 1927 oleh arsitek Belanda yang bernama Obzicshteer Rehata dan
sebagiannya juga di desain oleh sultan sendiri yaitu Muhammad Salahuddin
(sulthan Bima yang terakhir).
Museum Asi mbojo diserahkan kepada
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) oleh Sultan Muhammad Salahuddin pada
tahun 1951, dan tahun 1989 resmi dijadikan Museum oleh pemerintah kabupaten
Bima hingga sekarang. Museum ini di kelola oleh pemerintak Kabupaten Bima dan
di kepalai oleh Bapak Ridwan Maman, S.Ag (40) dengan 24 Pegawainya.
Isi
dari beberapa koleksi Museum Asi Mbojo antara lain Benda-benda Pusaka
peninggalan Kerajaan dan kesultanan Bima, dan yang paling terpopuler dari
Koleksi Museum yaitu “Gunti Rante” sebuah parang yang sangat menakjubkan di
ukir pada Zaman Majapahit dan Mahkota Sulthan yang terbuat dari Emas. Koleksi –
koleksi Benda Pusaka, pengunjung Museum dapat melihatnya di ruangan Galeri
Benda Pusaka di lantai satu, di lantai satu juga terdapat ruangan galeri
benda-benda perkakas dan baju-baju peninggalan masyarakat pada zaman kerajaan
dan kesultanan, di lantai satu ini dulu merupakan kantor pusat pemerintahan
Kabupaten Bima 1951 hingga 1960. Bangunan – bangunan di lantai satu dan dua
masih asli dan tidak pernah di Renovasi hingga sekarang.
Bila
pengunjung juga ingin melihat Kamar tempat menginapnya Bung Karno (Ir.
Soekarno) pengunjung dapat melihatnya di lantai 2, di lantai 2 pengunjung juga
bisa melihat kamar – kamar Sulthan, putra Mahkota, dan kamar Putri. Ibu
Nurhaini (45) Pegawai Museum yang bertugas untuk menemani para pengunjung untuk
berkeliling kepada kami (Solud) bercerita “ bahwa dulu istana Asi yang pertama
pernah di Bom pada masa peperangan sehingga di bangun Asi Kontu (istana
belakang) untuk sementara, dan bangunan Museum saat ini adalah bangunan Asi
yang kedua setelah yang pertama di bom” begitulah yang diceritakan oleh ibu
Nurhaini.
Kamar tidur Ir. Soekarno saat mengunjungi Kesultanan Bima
Bila
ingin berkunjung ke Museum Asi Mbojo pasti tidaklah sulit menemukannya, karena
letaknya yang strategis pas di sebelah alun-alun Kota Bima, karcis untuk
masukpun sangat murah untuk Dewasa atau Umum hanya Rp. 2000, anak- anak Rp.
500, Turis Rp. 3000, dan Pelajar dan Mahasiswa Rp. 1000.
Menurut
kepercayaan Masyarakat Bima bahwa Museum Asi Mbojo masih memiliki Aura
mistisnya, banyak kejadian-kejadian aneh dan hal-hal gaib yang terjadi di
Museum ini, karena Asi (Istana) masih dijaga oleh para leluhur. Karakter
bangunan Museum Asi Mbojo dalam pandangan Masyarakat Bima pada umumnya sangat
Religius, dulu merupakan tempat semua masyarakat belajar Islam pada zaman
Kesultanan Bima.
DESA DONGGO
Donggo, dengan jarak 40 Km adalah desa tertua di Bima, penduduk desa ini memiliki pakaian dan tradisi yang berbeda dari desa-desa lainnya. Mereka memelihara tradisi etnik uniknya dengan selalu memakai pakaian hitam, masih mempertahankan tingkatan hierarkinya dan membangun rumah tradisional mereka sendiri.
Donggo
adalah sebuah Desa yang terletak di atas pegunungan Soromandi sebelah barat
Kota Bima dengan ketinggian 1200 Meter, Donggo mempunyai keistimewaan dari Desa
lain yang berada di Bima yaitu berbagai macam legenda rakyat dan tempat-tempat
peninggalan sejarah berada di Donggo, salah satu Legenda rakyat yang terkenal
yaitu kisah Putri La Hila.
La
Hila adalah nama Putri cantik anak dari raja Donggo dahulu kala, La Hila
mempunyai rambut sepanjang 7 buah bambu dan paras cantiknya sangat menggoda
para Raja yang melihatnya, kejadian yang melegenda dari La Hila yaitu dia
dikubur hidup-hidup karena dia tidak ingin menerima lamaran dari salah satu
Raja Bima, setelah kuburannya di buka ternyata jasad La Hila telah hilang,
hingga sekarang masyarakat Donggo mempercayai bahwa La Hila sering menampakkan
diri dengan wujud wanita cantik.
Di
Donggo masyarakatnya masih menjada adat istiadat leluhurnya sehingga masih
terdapat rumah yang dulunya bertempat tinggal kepala suku atau di sebut Ncuhi
Donggo yang terdapat di Donggo Mbawa, ada dua agama yang dianut oleh masyarakat
Donggo yaitu Kristen Katolik dan Islam, penganut agama Katolik di Donggo yang
uniknya yaitu mereka memakai nama Islam akan tetapi agamanya Katolik.
Ada
cerita rakyat yang menarik lagi di Donggo yaitu dahulu kala sebelum
terbentuknya kerajaan Bima, Raja dari Pulau Jawa yang dulu pernah berjanji akan
mengirim anaknya untuk memimpin tanah Mbojo (sebutan tanah Bima dahulu kala),
sang Raja mengirim kedua anaknya ke Bima dengan sebatang bambu, kemudian di pinggir
pantai Donggo hiduplah sepasang suami istri yang sudah tua renta dan belum
mempunyai anak, tiap malamnya mereka berdua mendengarkan bunyi gendang yang
sangat besar, dan mereka berdua pun memeriksa dari mana asal suara gendang
tersebut tetapi mereka tidak menemukan sumber suara tersebut.
Ke esokkan harinya Ompu (panggilan
sang suami) pergi kepinggir laut untuk mencari kayu bakar, dan dia menemukan
sebatang Bambu kemudian Ompu mengambilnya membawa pulang kerumahnya, malam
harinya suara gendang tersebut masih ada Ompu beserta istrinya sangat penasaran
dari mana suara gendang tersebut. Pagi harinya Ompu akan membelah kayu yang dia
kumpulkan dengan sebuah kapak, kemudian pas Ompu ingin memotong Bambu yang dia
temukan di pinggir pantai, mengeluarkan suara yang melarang memotong bambu
tersebut dan keluarlah dua pangeran bersaudara dari Bambu tersebut yang
merupakan anak dari Raja Pulau Jawa yang datang untuk memimpin Bima seperti
yang dijanjikan. Kemudian salah satu saudara tertua dari kedua bersaudara itu
menjadi Raja Bima yang bernama Indra Zambrud yang menjadi asal usul Raja-raja
Bima.
Di Bima, ada Teluk Paling Indah Se-Asia Tenggara
Teluk Bima yg berada di lebih kurang pusat kota Bima, wajib
kalian kunjungi. Teluk ini menarik karena pemandangan lautan dikelilingi
pegunungan yang amat indah. Di dalamnya terdapat teluk-teluk mungil yg
mempunyai potensi serta pesona alam yg memukau. Teluk Bima dan pelabuhannya
dinobatkan sebagai teluk yg paling indah kedua Se-Asia Tenggara sesudah teluk
Bayur di Sumatera.
RUMAH ADAT
1.
S A M B O R I
Sambori merupakan salah satu dari
lima desa di lereng gunung Lambitu di sebelah tenggara kota Bima.
Ada dua fersi tentang nama Sambori. Fersi pertama mengemukakan asal mula kata Sambori adalah SAMBORE (Palu), yang berarti adanya ketetapan hati dan keputusan untuk tetap tinggal di lereng Lambitu dan tidak lagi berpindah-pindah. Hal itu didasari kespekatan bersama dalam satu musyawarah sehingga jatuhlah Sambore(Palu) kesepakatan itu.
Fersi kedua, Sambori berasal dari kata SAMPORI yang dalam bahasa Bima berarti melepaskan diri. Karena setelah membangun pemukiman dan menemukan cara bercocok tanam yang menetap dengan kondisi lereng Lambitu yang subur, mereka memutuskan untuk melepaskan diri dari komunitas lainnya.
Ada dua fersi tentang nama Sambori. Fersi pertama mengemukakan asal mula kata Sambori adalah SAMBORE (Palu), yang berarti adanya ketetapan hati dan keputusan untuk tetap tinggal di lereng Lambitu dan tidak lagi berpindah-pindah. Hal itu didasari kespekatan bersama dalam satu musyawarah sehingga jatuhlah Sambore(Palu) kesepakatan itu.
Fersi kedua, Sambori berasal dari kata SAMPORI yang dalam bahasa Bima berarti melepaskan diri. Karena setelah membangun pemukiman dan menemukan cara bercocok tanam yang menetap dengan kondisi lereng Lambitu yang subur, mereka memutuskan untuk melepaskan diri dari komunitas lainnya.
Sebelum
pemekaran kecamatan pada tahun 2006, Sambori dan sekitarnya masuk dalam wilayah
kecamatan Wawo. Orang-orang Bima sering menyebut dengan nama Wawo Tengah.
Sambori dan desa-desa di sekitarnya terletak di ketinggian 700 Meter di atas
permukaan laut. Memandang Sambori dari kejauhan seperti negeri yang menggantung
menyelinap dalam awan dan kabut. Dibalut keluguan dan keramahan warganya,
Sambori adalah pelepas rindu akan nyanyian alam yang syahdu bersahaja.
Desa
Sambori berbatasan dengan Desa Renda kecamatan Belo Kabupaten Bima di sebelah
barat,dan hutan tutupan Arambolo di sebelah timur. Di sebelah utara berbatasan
dengan desa Teta sebagai ibukota kecamatan Lambitu, dan di sebelah utara
bersebelahan dengan desa Kawuwu kecamatan Langgudu. Desa Sambori terdiri dari
dua dusun yaitu Dusun Lambitu yang dihuni 222 Kepala Keluarga dan Sambori Bawah
(Dusun Lengge) yang dihuni 930 Jiwa serta 223 Kepala Keluarga.
Sebagai
daerah puncak yang berjarak sekitar 44,3 KM, Sambori potensial untuk
pengembangan tanaman Bawang Putih, Jeruk , Alphokat, Rambutan, Mangga, Pisang,
Sawo, Jambu Batu serta tanaman lainnya.Di lereng Sambori terdapat 275 pohon
Jeruk, 300 pohon Alpukat, 450 pohon Mangga, 300 pohon kelapa, 200 pohon pinang
serta aneka pepohonan lainnya.
Di
sector peternakan, kawasan Sambori sejak dulu memang telah dikenal sebagai
areal pengembalan ternak seperti kuda, kerba, Sapi dan Unggas. Namun yang
paling dominan digeluti warga Sambori dan sekitarnya adalah tanaman padi dan
Bawang Putih serta ternak Kerbau, Sapi, kambing dan jenis unggas. Berternak
memang telah menjadi tradisi turun temurun warga Sambori dan sekitarnya. Hal
itu dibuktikan dengan prototype Uma Lengge yang di lantai dasarnya memang
diperuntukkan untuk penyimpanan dan pemeliharaan ternak.
Desa
Sambori memiliki luas sekitar 1.802 Ha atau sekitar 33,58 % dari luas wilayah
kecamatan Lambitu. Sekitar 1.260 Ha adalah lahan Sawah dan tegalan.Sisanya
diperuntukkan untuk pemukiman dan prasarana umum, perkebunan rakyat dan kawasan
lindung seluas 736 Ha.Topografi wilayah Sambori dan sekitarnya berbukit-bukit
dan datar yang menyebar di sepanjang lereng Gunung Lambitu. Suhu udara di
Sambori rata-rata antara 20 hingga 25 C.
Berdasarkan
Sensus Penduduk dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bima Tahun 2010, Jumlah
penduduk desa Sambori sebanyak 1786 jiwa dengan jumlah penduduk Laki-laki
sebanyak 895 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 891 Jiwa. Jumlah kepala
keluarga sebanyak 440 KK yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dan
peternak.
Ladang Pengembangan Apotik
Hidup
Berada
di ketinggian 500 sampai 700 Meter Di atas permukaan Laut, Sambori dan
Sekitarnya sangat cocok untuk budidaya tanaman-tanaman obat seperti Jahe,
Kunyit, Lengkuas, Mengkudu, Temulawak, Kumis Kucing, Kencur, Bangle, Tempuyang
dan lain-lain. Tanaman ini disamping tumbuh secara liar di pegunungan Lambitu,
juga diupayakan dan dikembangkbiakkan oleh masyarakat. Yang paling banyak
dikembangkan warga disamping bawang putih dan padi adalah Kunyit dan Tempuyang.
Sejak
dulu, orang-orang Sambori memang terkenal sebagai penjual Kunyit dan Tempuyang
bahkan sampai di kota Bima dan Dompu. Sekitar 20 Hektar lahan tegalan di
Sambori dimanfaatkan warga untuk menanam kunyit. Ada juga sekitar 7 Hektar
lahan yang dimanfaatkan untuk menanam Tempuyang. Proses produksi dan pemasaran
warga Sambori terhadap tanaman obat ini masih sangat sederhana dan tradisional
yaitu dengan menjajakan dari kampung ke kampung, disamping dimanfaatkan untuk
kebutuhan pribadi.(*alan).
2.
RUMAH LENGGE DI WAWO
Dari kejauhan tampak sebuah gubuk
yang meruncing segitiga yang terlihat banyak yang atapnya terbuat dari jerami,
itulah Rumah Lengge, rumah tradisional masyarakat Wawo yang mempunyai gaya
arsitek yang unik , dengan bahan bangunannya kayu dan bambu beratapkan jerami.
Dan Rumah Lengge merupakan rumah asli Pribumi suku Mbojo (Bima).
Ternyata rumah Lengge ini berdiri
diatas batu kali sebagai dasar rumah, yg hanya empat kaki tanpa semen, rumah
lengge ini hanya memakai paku yang terbuat dari kayu dan yang lebih menarik
lagi untuk mengikat bambunya tali yang terbuat dari kulit pohon. Rumah Lengge
ini juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi di atasnya dan ruang tidur
dibawah yang mirip saung yang berukuran atau luasnya hanya 8×4 meter.
Rumah Lengge ini ternyata juga rumah
anti tikus, dimana tikus maupun kucing tidak dapat masuk dirumah Lengge karena
dasar batu rumah dan tiang-tiangnya mempunyai siku yang berbentul huruf L
sehingga tikus maupun binatang merayap lainya susah untuk masuk kerumah Lengge.
Masyarakat di desa Wawo saat
sekarang masih menggunakan rumah Lengge sebagai tempat penyimpanan Padi ataupun
hasil pertanian mereka. Di Wawo tepatnya di Desa Maria masih berjejer rumah
Lengge dan Jompa (rumah yang serupa dengan Lengge), dan dijadikan tempat untuk
kunjungan wisatawan yang ingin melihat rumah Lengge dan kehidupan tradisional
masyarakat setempat
KEKAYAAN ALAM
1.
RUMPUT LAUT
Budidaya
Rumput Laut disamping untuk kesejahteraan masyarakat bisa juga berpotensi untuk
tujuan wisata. Budidaya rumput laut ini dikembangkan Di Kecamatan Sape, Lambu,
Langgudu dan Wera dengan rata-rata produksi per tahun mencapai 171 Ton.
Pengolahan yang baik dapat meningkatkan produksi. Budidaya rumput laut akan
tetap dikembangkan guna menjawab tantangan pasar yang permintaannya terus
mengalami peningkatan setiap tahun. Potensi pesisir yang cocok untuk rumput
laut merupakan peluang untuk terus meningkatkan produksi rumput laut di
Kabupaten Bima guna memenuhi permintaan ekspor yang terus mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Di Kota Bima juga terdapat areal pembudidayaan Rumput Laut
yang dalam Bahasa Bima disebut KAHAO. Lokasinya adalah di sekitar pantai So
Nggela, Bonto hingaa Toro Rui Londe di kecamatan Asa Kota.
2.
BUDIDAYA MUTIARA
Bima
terletak pada gugusan kepulauan sunda kecil yang sekarang kita sebut dengan
Nusa Tenggara Barat. Posisinya sangat penting dalam perspektif Nusantara. Tak
heran jika Bima dalam sejarahnya menjadi bagian daerah pelabuhan penting dalam
merangkai keutuhan wilayah Nusantara. Pada masa colonial, Belanda menjadikan
Bima sebagai daerah transit menuju belahan timur Indonesia baik itu dalam
kepentingan penjajahannya maupun dalam regulasi perdagangannya.
Letak Bima yang sangat strategis ini tidak lain adalah pemberdayaan potensi wilayah yang terkait dengan kelautan. Akibatnya, Bima menjadi daerah yang dikenal dunia luar.
Letak Bima yang sangat strategis ini tidak lain adalah pemberdayaan potensi wilayah yang terkait dengan kelautan. Akibatnya, Bima menjadi daerah yang dikenal dunia luar.
Salah
satu potensi Bima yang sudah dikenal luas adalah Mutiara. Usaha Budidaya
Mutiara sudah berlangsung lama dan berlangsung di beberapa wilayah kecamatan
seperti di Lambu, Wera, Sanggar dan Langgudu. Yang terkenal adalah PT. Bima
Sakti Mutiara Di kecamatan Lambu. Tidak tertutup kemungkinan kerang mutiara
dijumpai di sejumlah wilayah pesisir di Bima selain wilayah-wilayah kecamatan
yang disebutkan di atas. Mutiara merupakan komoditas unggulan perikanan
budidaya yang perlu ditingkatkan produksinya. Karena hampir seluruh produksinya
ditujukan untuk diekspor keluar negeri. Para pembeli mutiara di Jepang telah
banyak yang mengetahui bahwa mutiara tersebut berasal dari Indonesia terutama Bima,
sehingga akan lebih baik bila membeli secara langsung dari Indonesia. Memang
pengembangan usaha budidaya mutiara masih banyak mengalami hambatan baik yang
bersifat teknis maupun non teknis. Walaupun saat ini kondisi keamanan dapat
dikatakan lebih kondusif, tetapi masih sulit bagi perusahaan budidaya mutiara
yang telah hancur untuk bangkit kembali. Untuk membangkitkan kembali usaha
budidaya mutiara sekaligus menciptakan iklim usaha yang kondusif, perlu
serangkaian langkah dan kebijakan untuk betul-betul mendorong usaha budidaya
mutiara ini. Sehingga dikemudian hari melalui usaha ini akan dapat menyerap
tenaga kerja dan sekaligus menjadi sumber PAD daerah.
Mutiara
adalah suatu benda keras yang diproduksi di dalam jaringan lunak (khususnya
mantel ) dari moluska hidup. Sama seperti kulit moluska, mutiara terdiri dari
kalsium karbonat dalam bentuk kristal yang telah disimpan dalam lapisan-lapisan
konsentris. Mutiara yang ideal adalah yang berbentuk sempurna bulat dan halus,
tetapi ada juga berbagai macam bentuk lain. Mutiara alami berkualitas terbaik
telah sangat dihargai sebagai batu permata dan objek keindahan selama
berabad-abad, dan oleh karena itu, kata “mutiara” telah menjadi metafora untuk
sesuatu yang sangat langka, baik, mengagumkan, dan berharga.
Mutiara
berharga terdapat di alam liar, tapi dalam kuantitas yang sangat jarang.
Mutiara budidaya atau mutiara yang berasal dari tiram merupakan mayoritas dari
mutiara-mutiara yang dijual di pasaran. Mutiara laut dihargai lebih tinggi dari
mutiara air tawar. Mutiara palsu juga banyak dijual dengan harga murah, tetapi
kualitasnya biasanya jelek – dan secara umum, mutiara buatan dapat dengan mudah
dibedakan dari mutiara asli. Mutiara banyak dibudidayakan terutama untuk
digunakan sebagai perhiasan , namun di masa lalu mutiara juga digunakan sebagai
hiasan pada pakaian-pakaian mewah. Mutiara juga bisa dihancurkan dan digunakan
dalam kosmetik, obat-obatan, atau dalam formula cat.
3.
BAWANG MERAH
BIMA, NTB - Untuk lebih
memastikan pasokan bawang merah aman dan tidak diperlukan impor, Menteri
Pertanian, Amran Sulaiman melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Bima, Nusa
Tenggara Barat (NTB) untuk mengikuti panen raya bawang merah.
Panen bawang merah yang ada di Bima menghasilkan sebanyak 40 ribu ton. Sedangkan panen di Brebes menghasilkan produksi bawang merah sebesar 50 ribu ton, sehingga total produksi dua sentra produksi tersebut mencapai sebesar 90 ribu ton.
"Artinya Brebes dan Bima sudah memenuhi kebutuhan (bawang merah) nasional bulan ini sudah cukup. Itu belum termasuk Banyuwangi, Enrekang, Janeponto, Minahasa, Probolinggo. Dua sentra ini saja sudah cukup," ujar Mentan Amran.
Mentan menjelaskan, produksi hasil panen di Bima akan langsung dibeli oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) untuk segera disebarkan ke daerah-daerah yang menunjukkan harga bawang merah tinggi.
Panen bawang merah yang ada di Bima menghasilkan sebanyak 40 ribu ton. Sedangkan panen di Brebes menghasilkan produksi bawang merah sebesar 50 ribu ton, sehingga total produksi dua sentra produksi tersebut mencapai sebesar 90 ribu ton.
"Artinya Brebes dan Bima sudah memenuhi kebutuhan (bawang merah) nasional bulan ini sudah cukup. Itu belum termasuk Banyuwangi, Enrekang, Janeponto, Minahasa, Probolinggo. Dua sentra ini saja sudah cukup," ujar Mentan Amran.
Mentan menjelaskan, produksi hasil panen di Bima akan langsung dibeli oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) untuk segera disebarkan ke daerah-daerah yang menunjukkan harga bawang merah tinggi.
MAKANAN KHAS BIMA
1. Kopa Sahe Dari TENTE
Bagi
warga Bima, Menu Kopa Sahe merupakan salah satu menu pilihan untuk berbuka
puasa. Yah, Kopa Sahe hanya dikenal di desa Tente kabupaten Bima. Seperti apa
menu makanan khas Bima yang satu ini ? Berikut, Kru Sarangge melaporkan untuk
anda.
Desa
Tente kecamatan Woha Kabupaten Bima sudah lama dikenal sebagai urat nadinya
perekonomian di daerah ini. Bisa dikatakan Tente merupakan pusat perdagangan
dan perbelanjaan masyarakat dari berbagai pelosok pedalaman di kabupaten Bima
seperti dari Langgudu, Parado, Monta, Belo dan Palibelo.
Disamping itu, di desa ini juga terdapat satu tempat pemotongan hewan yang dikenal dengan BANTE. Pemotongan hewan seperti kerbau, Sapi dan Kambing dilakukan setiap hari.
Disamping itu, di desa ini juga terdapat satu tempat pemotongan hewan yang dikenal dengan BANTE. Pemotongan hewan seperti kerbau, Sapi dan Kambing dilakukan setiap hari.
Ada
satu makanan khas dari desa ini yaitu Soto Kaki Kerbau atau yang dikenal dengan
Kopa Sahe. Ini adalah salah satu produk andalan Desa Tente yang cukup banyak
digemari oleh berbagai kalangan, baik orang Bima sendiri maupun orang luar
Bima. Kopa Sahe merupakan makanan yang berbahan dasar dari kaki kerbau. Kaki
Kerbau diolah dan dimasak dengan bumbu yang telah di tentukan jenis dan
porsinya. Salah satu pedagang Kopa Sahe Rohana Ahmad yang telah lama melakoni
profesi ini mengatakan Kopa Sahe cukup diminati. Kisaran hasil yang
diperolehnya setiap hari adalah 300-400 ribu rupiah. Namun menurutnya hasil
tersebut belum mampu digunakan untuk modal mengembangkan usahanya tersebut.
Harapnya Pihak Pemerintah memperhatikan pedagang-pedagang kecil agar dapat
mengoptimalkan pemanfaatan prodak daerah sehingga kian diminati dan dilirik
khalayak ramai.
Hanya
saja, penjualan dan pemasaran makanan ini masih dilakukan secara tradisional
dengan dijajakan dari kampung ke kampung. Belum ada satupun pedagang Kopa Sahe
yang menjual di di depan jalan utama Tente atau di warung-warung di pasar
Tente. Justru yang banyak dijumpai di depan jalan-jalan utama Tente adalah
warung dan rombong Bakso, Nasi campur dan soto serta Sate Kambing. Ini tentunya
menjadi PR bersama untuk mendorong para pedagang Kopa Sahe menjual makanan ini
di depan jalan-jalan utama Tente agar mudah dilihat dan dikunjungi daripada
berada di dalam kampung seperti yang dilakukan selama ini.
Desa
Tente letaknya tidak jauh dari Bandar Udara Muhammad Salahuddin Bima. Jika
menggunakan kendaraan bermotor cukup menghabiskan waktu sektar 10 menit. Secara
geografis desa ini berdaratan rendah dan diapit oleh sawah. Sebalah Selatan
berbatasan dengan Desa Naru, sebelah Utara berbatasan dengan Rabakodo, Sebelah
Barat berbatasan dengan Samili dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Cenggu
Kecamatan Belo. Baru-baru ini Tente dimekarkan menjadi dua bagian yaitu desa
Nisa dan desa Naru. Dengan jumlah penduduk sebanyak 3.383 orang dan 878 Kepala
Keluarga, sumber mata pencaharian masyarakat Desa Tente beragam, diantaranya
pedagang, petani, pelaut dan PNS.
2. Kadodo Dari Desa NUNGGI
WERA
Dodol
atau yang dalam bahasa Bimanya disebut Kadodo telah dilakukan secara turun
temurun oleh masyarakat Bima sejak nenek moyang.
Di Bima makanan ini telah secara turun temurun dibuat oleh masyarakat di kecamatan Wera. Meskipun pembuatan Dodol semacam ini juga banyak dibuat oleh masyarkat di wilayah lainnya, tapi dodol yang terkenal adalah Kadodo Wera. Ada satu desa di kecamatan Wera yang orang-orangnya sangat ahli membuat Kadodo yaitu di desa Nunggi.
Di Bima makanan ini telah secara turun temurun dibuat oleh masyarakat di kecamatan Wera. Meskipun pembuatan Dodol semacam ini juga banyak dibuat oleh masyarkat di wilayah lainnya, tapi dodol yang terkenal adalah Kadodo Wera. Ada satu desa di kecamatan Wera yang orang-orangnya sangat ahli membuat Kadodo yaitu di desa Nunggi.
Pada
masa lalu, pembuatan Kadodo hanya dilakukan pada saat ada hajatan seperti
perkawinan, khatam Al-qur’an, khitanan dan lain-lain. Pembuatan Kadodo
dilakukan secara gotong royong oleh warga diiringi musik tradisional Bima
seperti Biola dan Gambo, Rawa Mbojo serta atraksi Gantaong. Sambil menonton dan
menikmati musik dan permainan itu, para pembuat Kadodo memaruk kelapa,
mengumpulkan kayu bakar, menggali Rubu (semacam tungku perapian yang digali
terlebih dahulu untuk dimasukan kayu-kayu bakar). Sambil berpantun dan bersyair
para pembuat Kadodo mengaduk Kadodo dengan Kayu Kosambi sepanjang satu meter
yang memang telah disiapkan sebagai pengaduk Kadodo.
Menurut
Halimah (58 thn), salah seorang pembuat Kadodo asal desa Nunggi bahan pembuatan
Kadodo Wera untuk sebuah perayaan dibutuhkan 10 kg tepung beras ketan, 50
batang gula merah, 30 butir kelapa, gula pasir, garam, dan bawang Goreng. Untuk
membuat dodol yang bermutu tinggi cukup sulit karena proses pembuatannya yang
lama dan membutuhkan keahlian. Dalam tahap pembuatannya, bahan-bahan dicampur
bersama dalam Kuali yang besar dan dimasak dengan api sedang. Dodol yang
dimasak tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan, karena jika dibiarkan begitu
saja, maka dodol tersebut akan hangus pada bagian bawahnya dan akan membentuk
kerak.
Oleh
sebab itu, dalam proses pembuatannya campuran dodol harus diaduk terus menerus
untuk mendapatkan hasil yang baik. Waktu pemasakan dodol kurang lebih
membutuhkan waktu 4 jam dan jika kurang dari itu, dodol yang dimasak akan
kurang enak untuk dimakan. Setelah 2 jam, pada umumnya campuran dodol tersebut
akan berubah warnanya menjadi cokelat pekat. Pada saat itu juga campuran dodol
tersebut akan mendidih dan mengeluarkan gelembung-gelembung udara.Untuk
selanjutnya, dodol harus diaduk agar gelembung-gelembung udara yang terbentuk
tidak meluap keluar dari kuali sampai saat dodol tersebut matang dan siap untuk
diangkat. Yang terakhir, dodol tersebut harus didinginkan dalam periuk yang
besar. Untuk mendapatkan hasil yang baik dan rasa yang sedap, dodol harus
berwarna coklat tua, berkilat dan pekat. Setelah itu, dodol tersebut bisa
dipotong dan dimakan.
Selama
ini pembuatan Kadodo Wera masih bersifat tradisional terutama pada saat hajatan
saja. Pemasarannya pun nyaris tidak pernah dilakukan di luar kecamatan Wera.
Perlu upaya pendekatan, fasilitasi dan sentuhan pemberdayaan terhadap para
pembuat Kadodo Wera agar produk warisan leluhur ini mampu menerobos pasar.
Seperti Dodol Garut dan dodol-dodol lainnya di tanah air.
3. MANGGE MADA
Mangge Mada adalah
salah satu masakan khas Bima yang sangat enak. Meskipun tidak sesering di
waktu-waktu lalu, namun masakan ini tetap akan dijumpai dalam kehidupan
masyarakat Bima. Mangge mada akan menjadi santapan lezat terutama saat-saat
menikmati alam terbuka. Variasi masakan yang berbahan dasar Jantung Pisang ini
bisa bermacam-macam sesuai selera. Jika dahulu nenek atau ibu konon sering
menambahkan daging burung (maaf, ini jaman lampau), sekarang bisa diganti
dengan daging ayam. Biasanya ayam kampong. Karena orang Bima sangat fanatik
dengan ayam kampung.
4. Uta Sepi Tumis
Yang satu ini merupakan makanan kesukaan orang bima, yg terbuat dari udang udang kecil yg di tumis dng tomat, cabe, asam muda dan kemangi.
5. Uta Poco Karamba Tumis
Makanan yang satu ini sungguh akan menambah selera makan anda , disamping rasanya yang gurih , makanan ini juga memliki cita rasa yang sangat khas , sehingga bagi anda para pencobanya mustahil bisa melupakan rasa makanan ini.
6. Jame Mangge
Jame mangge adalah sebuah sambal yang dibuat dari asam muda yang diulek dengan cabe, garam dan bumbu dapur lainnya. Sambal yang satu ini sangat cocok disajikan dengan ikan teri , ikan Bakar , karena rasa yang asam dari sambal nya membuat anda gak merasa kenyang dengan hanya makan satu piring saja .
7. Tota Fo'o
Tota fo'o yang dalam bahasa indonesianya adalah mangga cincang adalah suatu sambal yang sangat khas dan terkenal di daerah bima. Rasa asam dari mangganya serta peds dari cabe yang tumbuk membangkitkan selera makan anda yang mencobanya. Jadi kalau anda berlibur ke daerah Bima, belum lengkap rasanya jika anda belummencoba sambal yang nikmat ini.
KESENIAN DARI BIMA
1.
MPA'A GANTAO
Dalam
seni Tari Bima, semua jenis tari rakyat, disebut “mpa’a ari mai ba asi” atau
tari di luar pagar istana (ASI). Hal ini berarti bahwa atraksi kesenian ini
tumbuh dan berkembang di luar lingkungan istana, yang lazim disebut dengan Tari
Rakyat. Biarpun tari rakyat tumbuh dan berkembang di luar istana, namun sultan
melalui para seniman istana, tetap mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan
tarian rakyat, dengan demikian mutu tari tetap terpelihara dan terpacu pada
nilai dan norma agama dan adat yang islami.
Mpa’a
Gantao adalah salah satu tarian rakyat yang telah tumbuh sejak zaman kesultanan
Bima. Atraksi keseniaan ini diperkirakan ada sejak masa pemerintahan Sultan
Abdul Khair Sirajuddin( 1648-1685).Atraksi kesenian ini cukup popular bagi
masyarakat Bima, karena hingga saat ini masih tetap eksis dan dipertunjukkan
dalam berbagai acara dan hajatan baik di lingkup Pemerintah Daerah maupun
masyarakat. Biasanya Gantao dipertunjukkan pada acara hajatan pernikahan maupun
sunatan.
Mpa’a
Gantao dimainkan oleh dua orang penari, ragam geraknya sama dengan ragam gerak
silat, tetapi dimainkan dalam irama gerak yang cepat, begitu pula musik
pengiringnya tidak jauh berbeda dengan irama musik Mpa’a sila(Silat), hanya
iramanya lebih cepat. Alat music pengiringnya adalah dua buah gendang,
Tawa-Tawa, Gong serta alunan Serunai Khas Mbojo yang disebut “ Sarone”. Dalam
satu group Gantao terdiri dari lima orang pemain music dan 2 orang pemain
Gantao.
Atraksi
ini tergolong masih tetap eksis keberadaannya hingga saat ini. Meskipun hanya
beberapa sanggar seni saja yang tetap menekuninya. Persoalan mendasar yang
dihadapi para seniman adalah minimnya pembinaan dan bantuan peralatan serta
kostum. Disamping itu, proses regenerasinya sangat lamban. Peniup Sarone saja
semakin langka, aplagi penabuh gendang. Diperlukan pembinaan dan proses
regenerasi untuk mengajak para pemuda bergelut di seni budaya tradisional Mbojo
dalam rangka upaya pelestariannya.
2.
TARI BONGI MONCA
tarian
wura bongi moca
Rombongan tamu yang
datang berkunjung ke kota Bima akan disambut oleh Tarian Selamat Datang atau
yang dikenal dengan Tarian Wura Bongi Monca.
Gongi Monca adalah
beras kuning. Jadi tarian ini adalah Tarian menabur Beras Kuning kepada
rombongan tamu yang datang berkunjung. Tarian ini biasanya digelar pada
acara-acara penyabutan tamu baik secara formal maupun informal.
PAKAIAN KHAS BIMA
Pakaian Sehari-Hari Kaum
Lelaki
Untuk pakaian sehari – hari laki – laki dewasa dan tua biasanya
memakai Sambolo (ikat kapala) yang terbuat dari kain kapas tenunan sendiri
dengan hiasan kotak – kotak berwarna hitam atau putih. Dipadu dengan baju mbolo
wo’o atau baju tanpa kerah yang terbuat dari kain katun dijahit sendiri dan
biasanya berwarna hitam dan putih. Sarungnya bukan nggoli melainkan tembe me’e
(sarung hitam) khas Sambori yang dipintal dan ditenun sendiri dari bahan kapas
dan diberi warna hitam dari ramuan nila dan taru. Cara pemakaiannya dengan cara
dililitkan pada bagian perut, dalam bahasa Bima disebut Katente. Untuk
aksesoris lazimnya mereka mengenakan weri atau bala (kain ikat pinggang) yang
diselempangkan melingkar pada bagian perut sampai di atas paha yang berrfungsi
untuk menguatkan lilitan sarung atau katente.
Pakaian Perempuan Tua
Dan Dewasa
Lagi pula untuk perempuan tua dan dewasa, mereka umumnya
mengenakan baju poro me’e yang terbuat dari kain katun yang dijahit sendiri dan
bentuknya menyerupai baju poro pada pakaian adat masyarakat Bima umumnya.
Sarungnya yakni tembe me’e, yang dipintal dan tenun sendiri, dibuat agak
panjang karena cara memakainya yaitu dengan cara dimasukan secara lurus melalui
kepala atau kaki. Kemudian dibiarkan dilepas kembali sampai ke betis atau
diatasnya diikat satu kali pada bahu, sekedar pelengkap mereka mengenakankababu
(Sejenis Selepang),yang diselempangkan pada bahu. Rambut pun tidak serampangan,
mereka sangat menyukai tata rambut dengan membuat semacam ikatan yang di bentuk
meninggi di atas kepala yang disebut samu’u tu’u.
Pakaian Untuk Remaja
Pria
Untuk remaja pria, ada pakaian khasnya. Mereka biasanya mengenakan
baju yang dibuat dari benang katun yang berwarna putih atau warna lainnya
biasanya berupa kemeja lengan pendek. Sarungnya tembe me’e yang ditenun
sendiri. Ikat pinggang atau salepe, terbut dari kain tenun sendiri. Biasanya
berbentuk seperti selendang yang di buat memanjang dengan lebar kurang dari
ukuran selendang. Mereka pun mengenakan cincin yang terbuat dari bahan besi
putih, perak diberi batu akik.
Pakaian Untuk Remaja
Puteri
Untuk remaja putri, lazimnya mengenakan baju poro me’e yang dijahit
sendiri yang terbuat dari kain katun. Sarungnya adalah tembe me’e biasanya
bergaris putih yang terbuat dari benang kapas yang di pintal dan ditenun
sendiri. Supaya kelihatan anggun, remaja putri seringkali mengenakan kababu
yang terjuntai dari bahu ke bawah dengan cara diselempangkan. Supaya tanpak
manis, rambutnya di tata dengan mengikat di bagian belakang kepala yang sisebut
Samu’u. Adapun untuk perhiasan, para remaja putrinya mengenakan kondo (kalung)
yang terbuat dari biji – bijian berwarna merah dan hitam , jima edi (gelang
kaki), jima rima (gelang tangan) yang terbuat dari besi putih atau perak dan
menyerupai ular.
BUAH KHAS BIMA
1.
KETIKA PANEN GAROSO MBOJO
Antara
bulan Pebruari hingga April buah Garoso melimpah di kabupaten dan Kota Bima.
Pada musim-musim seperti ini para pedagang Garoso berjejer untuk menjual Garoso
di sepanjang jalan dari Desa Panda hingga memasuki kota Bima..
Ina Amnah salah seorang penjual Garoso yang ditemui di pinggir jalan di pantai Oi Niu mengemukakan, bahwa dirinya sebenarnya penjual ikan dan sayuran. Namun ketika Musim Garoso tiba ia dan anak-anak serta keluarga beralih profesi untuk sementara waktu dengan menjual Garoso baik yang berasal dari kebunnya maupun yang didapat dari pemilik kebun lainnya di sekitar Gunung Panda dan Oi Niu. “ Alhamdulillah nak, di musim Garoso ini adalah sedikit rejeki untuk uang sekolah anak-anak.” Ujarnya sambil melayani para pembeli yang biasanya ramai mengunjungi pinggir-pinggir pantai teluk bima di sore hari.
Ina Amnah salah seorang penjual Garoso yang ditemui di pinggir jalan di pantai Oi Niu mengemukakan, bahwa dirinya sebenarnya penjual ikan dan sayuran. Namun ketika Musim Garoso tiba ia dan anak-anak serta keluarga beralih profesi untuk sementara waktu dengan menjual Garoso baik yang berasal dari kebunnya maupun yang didapat dari pemilik kebun lainnya di sekitar Gunung Panda dan Oi Niu. “ Alhamdulillah nak, di musim Garoso ini adalah sedikit rejeki untuk uang sekolah anak-anak.” Ujarnya sambil melayani para pembeli yang biasanya ramai mengunjungi pinggir-pinggir pantai teluk bima di sore hari.
Ketika
ditanya berapa yang laku tiap hari, sambil tesenyum Ina Amnah menjawab bahwa
penghasilannya sehari dari menjual Garoso bisa mencapai 100 ribu rupiah
terutama ketika hari minggu dan hari libur. Warga yang biasa berdatangan di
tempat itu adalah warga Kabupaten dan Kota Bima, Dompu bahkan tamu-tamu yang
datang dari Mataram dan Jakarta.
Garoso
adalah sejenis buah Srikaya termasuk pohon buah-buahan kecil yang tumbuh di
tanah berbatu, kering, dan terkena cahaya matahari langsung. Tumbuhan yang
asalnya dari Hindia Barat ini akan berbuah setelah berumur 3-5 tahun. Srikaya
sering ditanam di pekarangan, dibudidayakan, atau tumbuh liar, dan bisa
ditemukan sampai ketinggian 800 m dpi.
Perdu
atau pohon kecil ini mempunyal tinggi 2-5 m, kulit pohon tipis berwarna
keabu-abuan, getah kulitnya beracun. Daun bertangkai, kaku, ietaknya berseling.
Helaian daun bentuk lonjong sampai jorong menyempit, ujung dan pangkai runcing,
tepi rata, panjang 6-17 cm, lebar 2,5-7,5 cm, permukaan daun warnanya hijau,
bagian bawah hijau kebiruan, sedikit berambut atau gundul. Bunga 2-4 kuntum
(berhadapan), keluar dan ujung tangkai atau ketiak daun, warnanya hijau kuning.
Buahnya buah semu, bentuk bola atau kerucut, permukaan berbenjol-benjol,
warnanya hijau berserbuk putih, penampang 5-10 cm, jika masak, anak buah akan
memisahkan diri satu dengan lainnya. Warnanya hijau kebiru-biruan. Daging buah
berwarna putih, rasanya manis. Biji masak berwarna hitam mengkilap.
Ina
Amnah dan ratusan orang yang berjualan di pinggir jalan di kota dan kabupaten
Bima adalah bagian yang tidak terpisahkan ketika Musim Garoso tiba. Mereka
adalah pedagang musiman yang memiliki profesi lain sebelum maupun setelah musim
Garoso. Inilah romantika Bima yang tetap menjadi icon setiap tahun antara bulan
Pebruari hingga April.
2. Kawista /Kawis (Limonia Acidissima)
Di Dompu buah
ini disebut Kinca, sedangkan di Bima biasa disebut Kawi. ini
menyukai daerah kering. Daunnya kecil-kecil. Pohonnya tinggi (bisa mencapai
12m) serta cabang yang tidak neko-neko, anggap saja lugu. Ada lhoo di dalam
kawasan Candi Borobudur. Jika ingin memakannya, harus dibanting-banting dulu
untuk merusak kulit luarnya yang keras. Saat masih muda rasanya na’udzubillah!
Nggak enak. Perpaduan antara rasa kecut, sepat, dan entah rasa apa. Setidaknya
itulah deskripsi orang luar saar disuruh mencicipi rasa Kinca. Tapi tetap saja
organ-organ pencernaan Dou Mbojo yang mesinnya bandel ini bisa menerima rasa
Kinca apa adanya. Keajaiban dari Kinca adalah, rasanya bisa menjadi lebih
“ramah” jika diberitreatment berupa perendaman (minimal semalaman)
kemudian dilanjutkan dengan penjemuran (minimal seharian). Rasa sepat dan
kecutnya yang ekstrim tadi langsung hilang entah kemana. *yang bisa menjelaskan
hal ini secara ilmiah, kenapa, mohon di kolom koment yaa. Saat matang, rasanya
enak kok.
3. BABAL NANGKA/SAFIRI NANGGA
Babal Nangka, Safiri Dou Mbojo menyebutnya, merupakan bunga
dari Pohon Nangka (Artocarpus heterophyllus) yang
disebut Babal. Babal ini akan menghitam setelah matang, kemudian jatuh dengan
sendirinya. Nah, sebelum matang dan menghitam itulah saat yang yang tepat untuk
dirujak. Rasanya Sangat sepet, apalagi yang masih Muda.Nah, sebelum matang dan
menghitam itulah saat yang tepat untuk dirujak. Rasanya saaaangat sepet,
apalagi yang masih hijau.
4.
CERMAI (Phyllantus acidius)
Di daerah lain, buah ini biasa dikonsumsi setelah
menjelma menjadi manisan. Tapi, apa kawan petualang sudah mencoba mencicipi
buah cermei yang masih belum diapa-apakan? Pasti, kawan langsung jadi genit.
Eh, ngerti kan, refleks wajah saat memakan makanan yang asam?
5.
BUAH BIDARA/RANGGA
6. Sambi (Schleichera oleosa)
Dari pohon Sambi, kulit buahnya oleh Dou Mbojo
dijadikan obat untuk beberapa penyakit, sedangkan buahnya dijadikan sebagai bahan
rujak. Kadang ada juga yang memanfaatkan daunnya sebagai sayur.
7. Kecapi (Sandoricum koetjape)
Buah ini jika dipotong, tampilannya seperti manggis.
Rasanya, luar biasa masam pada kulit sedangkan bijinya sedikit tidak terlalu masam.
Tapi tetap saja tema besarnya; masam.
TEMPAT WISATA DI BIMA
1.
PANTAI LAWATA
Pantai
Lawata adalah berupa sebuah “tonjolan” ke teluk Bima. Di Lawata terdapat sebuah
bukit kecil yang memiliki beberapa buah gua kecil.Lawata memang sudah sejak
dulu menjadi sebuah obyek wisata atau tempat piknik bagi masyarakat Bima.
Lawata
terletak hampir di luar kota Bima. Pantainya bukanlah tempat yang bagus untuk
bermain air, namun air (laut)nya bisa dibilang cukup jernih walaupun kadang
berlumpur dan banyak batu-batu yang berserakan. Karena historinya, Lawata
kemudiandibangundibuatkan banyak “cottage” yang berderet di sepanjang
pantainya. Setiap cottage memiliki bagian “ dalam yang bisa digunakan untuk
lesehan, bagian luar/depan yang bisa digunakan untuk memandang ke arah
laut/teluk, dan tempat berbeque di sebelah luar/belakang. Tampaknya, setiap
cottage cukup untuk sebuah keluarga atau rombongan yang lebih dari 10 orang.
2. M O N T
A
Kecamatan
Monta terdiri dari beberapa desa yakni : baralau, monta, sakuru, tangga, sie,
simpasai, pela dan waro. Sebelum menggalami penggembangan wilayah kec.parado
termasuk kedalam kec.monta.Umumnya masyarakat dikecamatan ini mengantungkan
mata pencahriannya pada sektor pertanain khusunya bawang.
Masyarakat
Monta juga mulai membudi dayakan Kacang Koro yang dinilai mempunyai kualitas
Ekspor keluar negeri yang sangat menjanjikan, budi daya kacang koro ini dinilai
suatu perubahan tradisi menanam masyarakat setempat dari Padi dan Bawang, untuk
mencoba menanam kacang koro di area tanah mereka.
Kecamatan
Monta sebenarnya memiliki potensi pariwisata untuk dikembangkan karena
prospeknya sangat menjanjikan seperti Pantai wane yang menjanjikan potensi
pemandangan laut yang begitu indah dan alami dengan ombaknya yang besar sangat
cocok untuk tempat berselancar.
3. SOROMANDI
Wisata Alam Soromandi Bima adalah salah satu kota kecil yang terletak di ujung timur
Propinsi NTB (Nusa Tenggara Barat), di bumi Ngaha Aina Ngoho ini tersimpan
banyak sekali aset-aset alam yang menyimpan sejuta pesona yang masih belum
terjamah, dan perlu untuk di gali dan dijadikan sebagai objek wisata.
Aset alam ini bisa dijadikan sebagai daya tarik para wisatawan domestik maupun asing. Gambar ini ambil dari hasil jepretan komunitas pecinta alam bima "KOPA MBOJO" (untuk komunitas kopa mbojo maaf sudah mengambil hasil jepretan anda tanpa ijin, tujuan kita hanya semata memperkenalkan Dana Mbojo / bumi Ngaha Aina ngoho yang kita cintai.
Aset alam ini bisa dijadikan sebagai daya tarik para wisatawan domestik maupun asing. Gambar ini ambil dari hasil jepretan komunitas pecinta alam bima "KOPA MBOJO" (untuk komunitas kopa mbojo maaf sudah mengambil hasil jepretan anda tanpa ijin, tujuan kita hanya semata memperkenalkan Dana Mbojo / bumi Ngaha Aina ngoho yang kita cintai.
4. DESA CAMPA
Campa adalah salah satu desa kecil yang letaknya di
kabupaten Bima, NTB, Khususnya di
kecematan Madapangga. Letakna memang jauh dari keraiman, tetapi campa juga menyimpan
keindahan alam yang mungkin banyak orang yang belum tahu akan hal ini.
Contohnya seperti wana wisata OI
TABA, kalo yang ini mungkin sudah banyak yang tahu, tetapi ada satu tempat yang
belum orang tahu letaknya yaitu AIR TERJUN, kalau dilihat air terjun ini bisa
dikelola untuk dijadikan sebagai wahana wisata dan bentuk wahana wisata
ini adalah semacam tempat meluncur tapi bedanya tempat meluncur terbentuk oleh
alam, jadi suasananya sangat extrim dan alami.
5. PANTAI KALAKI
Pantai
Kalaki adalah pantai berpasir yang cukup landai, terletak di sebelah selatan
kota Bima. Dari kota Bima, melewati Lawata menuju ke arah Lapangan Terbang
Palibelo. Di Kalaki, pengunjung bisa bermain air laut yang dangkal, atau piknik
sambil menikmati pemandangan laut teluk Bima. Pengunjung pantai kalaki umunya
berasal dari kota Bima dari Kecematan Woha Dan Belo/Palibelo.
Pada
waktu liburan seperti saat Aru Raja (Lebaran), pantai Kalaki ramai sekali. Para
pedagang jauh-jauh hari sudah mendirikan tenda-tenda di pinggir jalan sepanjang
pantai. Sebenarnya, pantai Kalaki tidaklah terlalu bagus. Pasirnya bercampur
lumpur sehingga kalau dilalui akan menjadi keruh. Di samping itu terdapat
banyak batu-batu yang cukup tajam jika diinjak, dan tentu sangat tidak nyaman
karena bisa menyandung. Pantai juga terlalu landai sehingga untuk mendapatkan
kedalaman yang cukup untuk berenang atau menyelam, pengunjung harus masuk jauh
ke dalam laut.
Jika
air laut surut, pemandangan menjadi tidak sedap lagi karena air menjadi sangat
jauh ke dalam sementara daratan yang ditinggalkannya tampak penuh batu yang
berserakan. Pemda Kabupaten Bima yang menjadi “pemilik” pantai Kalaki tampak
sudah melakukan beberapa “pembangunan” di pantai tersebut, berupa beberapa
shelter yang bisa digunakan oleh pengunjung untuk berteduh dan duduk-duduk.
Namun jumlahnya tentu tidak mencukupi saat pengunjung ramai seperti ketika Aru
Raja. Pengunjung akhirnya menggelar tikar dan berkelompok di kebun orang di
seberang pantai. Mereka umumnya mengadakan acara berbeque atau “bakar-bakar” di
tempat itu. Biasanya, yang dibakar adalah ayam dan ikan laut. Pantai Kalaki,
sekali lagi, menjadi pilihan masyarakat untuk piknik karena tidak banyak
pilihan yang lebih baik lagi. Pantai di teluk Waworada (sebelah timur Karumbu)
yang lebih indah dengan view pantai selatan sangat jauh dan fasilitas jalan
juga belum memadai. Dalam hal ini, Pemda Kabupaten Bima masih harus berperan
lagi dalam menata obyek wisata yang dibutuhkan oleh masyarakat
Kegiatan Festival Teluk Bima 2011 dipusatkan di pantai wisata Kalaki
Kalaki
Kabupaten Bima minggu (24/7). Warga kota Bima maupun kabupaten Bima berjubel
mengunjungi areal wisata itu untuk menyaksikan berbagai mata lomba yang digelar
di event yang baru pertama kali dilaksanakan di Bima itu. Sejak pukul 8 pagi
areal pantai kalaki mulai ramai dikunjungi warga untuk berwisata sekaligus
menyaksikan festival Teluk Bima.
M.
Irfan dari bima Kreatif selaku panitia pelaksana mengemukakan bawhwa festival
Teluk Bima merupakan salah satu upaya untuk mempromosikan pariwisata Bima
sekaligus mendukung program Visit Lombok and Sumbawa 2012. “ kegiatan-kegiatan
yang kita lakukan antara lain pawai budaya, lomba dayung tradisional dari
pantai Lawata menuju Kalaki, lomba perahu hias, lomba mendongeng untuk para
pelajar, lomba menangkap bebek, pagelaran kesenian, serta penganan ikan
sepanjang 1 KM.” urai Irfan di celah-celah kegiatan festival.
Sementara
itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bima H. Nurdin, SH
menyambut baik kegiatan festival yang digagas Forum Bima Kreatif bekerja sama
dengan Dinas Budpar, Dinas Kelautan Dan
Perikanan,
Basarnas, Perhubungan,Kepolisian dan Instansi terkait lainnya. “Kita berharap
event ini akan terus menjadi agenda tahunan untuk kita benahi pelaksanaannya
kedepan. “ Harap Nurdin.
Kegiatan
itu cukup menyedot perhatian masyrakat baik di kota maupun Kabupaten
Bima.Kegiatan festival berakhir hingga menjelang magrib dengan agenda terakhir
penarikan Door prize dari panitia.
6. OI WOBO, DESA MARIA
KECAMATAN WAWO
Obyek wisata yang satu ini merupakan
obyek wisata alam sekaligus sejarah. Karena tempat ini juga di kenal dengan
pesanggarahan (Tempat Peristirahatan) para pejabat Belanda dan dibangun pada
masa kolonial. Jaraknya hanya sekitar 20 menit perjalanan dari Kota Raba-Bima.
Suasana sejuk dengan jernihnya air dari kolam renang yang merupakan ciri khas obyek wisata ini. Oi Wobo terletak di desa Maria kecamatan Wawo.
Setiap akhir pekan Oi Wobo selalu dikunjungi wisatawan domestik. Obyek wisata ini sering pula digunakan oleh Jajaran Pemerintah Kabupaten Bima untuk rapat dan menggelar berbagai kegiatan.
Suasana sejuk dengan jernihnya air dari kolam renang yang merupakan ciri khas obyek wisata ini. Oi Wobo terletak di desa Maria kecamatan Wawo.
Setiap akhir pekan Oi Wobo selalu dikunjungi wisatawan domestik. Obyek wisata ini sering pula digunakan oleh Jajaran Pemerintah Kabupaten Bima untuk rapat dan menggelar berbagai kegiatan.
Menurut
Legenda, adanya mata air Wobo ini berawal dari keinginan Putera Mahkota
Kerajaan Bima untuk melakukan perjalanan dan petualangan ke arah Matahari
Terbit. Ketika di tengah hutan mereka kelaparan dan kehausan. Sementara bekal
mereka sudah habis. Akhirnya Putera Mahkota mengeluarkan tongkatnya dan Wobo
(Bima : Cambuk). Putera Mahkota memukul bebatuan di sekitar hutan itu, maka
keluarlah mata air dari celah bebatuan. Alangkah girangnya semua pengikut
Putera Mahkota itu. Mereka meminum sepuas-puuasnya.
Pada
perkembangan selanjutnya mata air itu mengalir menuju ke segala lini.
Masyarakat mendekati tempat itu dan mendirikan perkambungan yang hingga saat
ini dikenal dengan Rasa Wawo ( Kampung Atas). Karena lokasinya memang di daerah
pegunungan dengan cuaca yang dingin dan sejuk. Pada masa kolonial di sekitar
mata air ini dibangun sebuah tempat peristirahatan yang dikenal dengan
Pesanggarahan. Di Bima ada dua bangunan bersejarah yang dibangun semacam ini,
yaitu di Wawo dan Donggo. Keduanya memang berada di daerah pegungungan yang
dingin dan sejuk.
Pesanggrahan
dan Kolam Renang Oi Wobo adalah salah satu situs sejarah dan sumber PAD bagi
Pemerintah Daerah Kabupaten Bima. Biaya masuk ke lokasi ini sebesar Rp.5000
untuk kendaraan roda 4 dan Rp.1000 per orang. Perlu penataan dan pengelolaan
yang lebih professional dalam rangka memanfaatkan obyek wisata ini demi
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.
7.
PANTAI LARITI
Apabila
mengunjungi Pantai Lariti, Anda bisa
melihat laut terbelah dua, mirip kisah Nabi Musa ketika dikejar bala tentara
Firaun. Anda juga akan merasakan sensasi berjalan di atas air laut,” kata
Ikram, petugas salah satu hotel di Kota Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara
Barat, Minggu (22/5/2016).
Pantai Lariti terletak di wilayah selatan Kabupaten Bima, tepatnya Desa Soro, Kecamatan Lambu Sape. Lokasi pantai tidak jauh dari Pelabuhan Sape, gerbang laut yang menghubungkan Pulau Sumbawa dan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Dari Kota Bima, pantai ini bisa ditempuh satu jam perjalanan mengendarai mobil.
Bagi mereka yang tidak membawa kendaraan sendiri, tersedia mobil sewaan Rp 500.000 per hari atau sepeda motor sewaan Rp 150.000 per hari.
Memasuki wilayah selatan kabupaten seluas 4.374,65 kilometer persegi itu, akan terlihat warna asli kawasan yang bergunung-gunung dan hanya mendapat musim hujan kurang dari tiga bulan dalam satu tahun.
Seperti kelakar Wakil Bupati Bima Dahlan M Noor saat pembukaan operasi katarak yang diselenggarakan Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK). ”Kabupaten Bima punya dua warna, hijau dan coklat,” katanya.
Karakter daerah itu tergambar dari jalan beraspal hotmix berkelok-kelok naik-turun, yang separuhnya diapit kawasan hutan dan bukit terjal. Pada musim hujan, kawasan itu tampak hijau oleh pepohonan. Namun, tegakan pohon dan semak belukar meranggas dan coklat saat dibakar terik matahari kemarau. Bebatuan pun menyembul melalui lereng-lereng lahan bukit bertekstur batu bertanah.
Sekitar 14 kilometer perjalanan, kami singgah di kompleks rumah tradisional Desa Maria, Kecamatan Wawo, melihat Uma Lengge (rumah mengerucut) dan Uma Jompa. Rumah itu di jadikan lumbung padi dan hasil bumi lain.
Letak kompleks rumah-rumah itu agak jauh dari permukiman warga agar aman dari kebakaran yang kerap terjadi saat musim kemarau sehingga stok pangan aman dari jilatan api sampai menjelang panen.
Kegersangan berlanjut ke Desa Soro, jalan menuju Pantai Lariti. Putaran roda mobil melamban menyusuri bukit gersang, melindas jalan datar berbatu- berdebu yang baru diuruk, dan mengitari petak-petak kolam usaha tambak yang sedang dalam proses pembangunan.
Dari atas bukit terlihat beberapa pulau kecil disertai warna air laut, yang seakan tersambung dari Pantai Lariti ke Samudra Indonesia.
Sore itu air di teluk tengah surut. Dari kejauhan terlihat panorama Pantai Lariti berupa terumbu karang bagai jalan membentang membelah laut sepanjang 100 meter dari bibir pantai hingga Nisa Lampa Jaram, pulau persinggahan alias ladang ternak kuda merumput.
Laut yang tampak ”terbelah dua” selebar 20 meter itulah bagai dalam kisah Nabi Musa AS. Setelah mencelupkan tongkat mukjizatnya, Laut Merah tersibak dua. Lewat lorong air itulah Nabi Musa dan umatnya berjalan menyelamatkan diri dari kejaran bala tentara Firaun.
Pantai Lariti akan mengundang pengunjung untuk berwisata sekaligus mengagumi fenomena alam laut "terbelah dua".
Pantai Lariti terletak di wilayah selatan Kabupaten Bima, tepatnya Desa Soro, Kecamatan Lambu Sape. Lokasi pantai tidak jauh dari Pelabuhan Sape, gerbang laut yang menghubungkan Pulau Sumbawa dan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Dari Kota Bima, pantai ini bisa ditempuh satu jam perjalanan mengendarai mobil.
Bagi mereka yang tidak membawa kendaraan sendiri, tersedia mobil sewaan Rp 500.000 per hari atau sepeda motor sewaan Rp 150.000 per hari.
Memasuki wilayah selatan kabupaten seluas 4.374,65 kilometer persegi itu, akan terlihat warna asli kawasan yang bergunung-gunung dan hanya mendapat musim hujan kurang dari tiga bulan dalam satu tahun.
Seperti kelakar Wakil Bupati Bima Dahlan M Noor saat pembukaan operasi katarak yang diselenggarakan Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK). ”Kabupaten Bima punya dua warna, hijau dan coklat,” katanya.
Karakter daerah itu tergambar dari jalan beraspal hotmix berkelok-kelok naik-turun, yang separuhnya diapit kawasan hutan dan bukit terjal. Pada musim hujan, kawasan itu tampak hijau oleh pepohonan. Namun, tegakan pohon dan semak belukar meranggas dan coklat saat dibakar terik matahari kemarau. Bebatuan pun menyembul melalui lereng-lereng lahan bukit bertekstur batu bertanah.
Sekitar 14 kilometer perjalanan, kami singgah di kompleks rumah tradisional Desa Maria, Kecamatan Wawo, melihat Uma Lengge (rumah mengerucut) dan Uma Jompa. Rumah itu di jadikan lumbung padi dan hasil bumi lain.
Letak kompleks rumah-rumah itu agak jauh dari permukiman warga agar aman dari kebakaran yang kerap terjadi saat musim kemarau sehingga stok pangan aman dari jilatan api sampai menjelang panen.
Kegersangan berlanjut ke Desa Soro, jalan menuju Pantai Lariti. Putaran roda mobil melamban menyusuri bukit gersang, melindas jalan datar berbatu- berdebu yang baru diuruk, dan mengitari petak-petak kolam usaha tambak yang sedang dalam proses pembangunan.
Dari atas bukit terlihat beberapa pulau kecil disertai warna air laut, yang seakan tersambung dari Pantai Lariti ke Samudra Indonesia.
Sore itu air di teluk tengah surut. Dari kejauhan terlihat panorama Pantai Lariti berupa terumbu karang bagai jalan membentang membelah laut sepanjang 100 meter dari bibir pantai hingga Nisa Lampa Jaram, pulau persinggahan alias ladang ternak kuda merumput.
Laut yang tampak ”terbelah dua” selebar 20 meter itulah bagai dalam kisah Nabi Musa AS. Setelah mencelupkan tongkat mukjizatnya, Laut Merah tersibak dua. Lewat lorong air itulah Nabi Musa dan umatnya berjalan menyelamatkan diri dari kejaran bala tentara Firaun.
Pantai Lariti akan mengundang pengunjung untuk berwisata sekaligus mengagumi fenomena alam laut "terbelah dua".
8.
PULAU ULAR
(
Versesofuniverse.blogspot.com)
dI Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB),
ada sebuah pulau yang penuh dengan ribuan ular laut. Pulau yang terletak kurang
lebih 500 meter dari Pantai Oi Caba di Kecamatan Wera ini adalah sebuah pulau batu kecil yang tidak dihuni oleh manusia. Dengan menaiki perahu dari pantai, pulau ini
dapat dicapai dalam waktu kurang lebih 20 menit.
Pulau ular ini
oleh masyarakat sekitar diberi nama Nusa Nipa. Sementara warga Ende, Flores
menjuluki pulau ini dengan nama Nuca Nepa Lale, atau pulau ular yang indah.
Sementara warga Manggarai memberi nama Nuha Ula Bungan, atau pulau ular yang
suci. Bagi masyarakat sekitar, ular-ular di pulau ini bukanlah sesuatu yang
ditakuti.
Sejak pulau
ular mulai dikenal dan dikunjungi, masyarakat sekitar mendapatkan rezeki dengan
menjadi guide dan menyewakan kapal ke pulau itu.
Masyarakat sekitar yang mendatangi pulau itu tidak merasa takut sedikitpun
untuk menyentuh ular-ular yang ada. Mereka bahkan dengan santai memasukkan
tangan ke celah-celah tebing batu untuk mengambil ular yang bersembunyi.
Menariknya,
ular laut di pulau ini juga mendatangi orang apabila dipanggil. Meskipun
begitu, pengunjung dari daerah lain tidak bisa sembarang menyentuh ular begitu
sampai di pulau itu. Kabarnya, ular di pulau harus terlebih dahulu dipegang
oleh orang lokal, jika tidak, bisa digigit oleh ular itu. Untuk memegang ular
tidak perlu menggenggam dengan erat, cukup biarkan ular berkeliaran di tangan
Anda.
SEJARAH DAN POTENSI WISATA DAERAH BIMA
Bima
adalah daerah yang terletak di pulau sumbawa, di provinsi NTB. Bima mempunyai
banyak tempat wisata yang tidak kalah bagus dari tempat wisata di pulau-pulau
lainnya mengingat Bima dikelilingi oleh lautan yang luas, namun karena tempat
di Bima tidak terlalu di urus dan tidak terlalu terkenal seperti lainnya
membuat wisatawan jarang datang ke daerah ini, kalau di lihat dari Budaya dan
Sejarah, Bima mempunyai sejarah yang amat terkenal dan Budaya-Budayanya pun masih
kental, tidak seperti kota lainnya yang sudah modern sehingga budaya-budayanya
sudah hilang sedikit demi sedikit, berbeda dengan Bima, budaya-budayanya pun
masih dijunjung tinggi oleh masyarakatnya bahkan masih ada daerah-daerah yang
benar-benar kental dengan budayanya seperti di Desa Sambori contohnya, disana
masyarakatnya benar-benar kental dengan Adat dan Budaya di jaman dulu, Bima
sangat cocok untuk wisatawan yang ingin meneliti dan menikmati budaya-budaya
jaman dulu.
Bima
itu Mbojo mengandung makna bahwa orang-orang yang merasa dilahirkan dan
dibesarkan dari peradaban tanah ini harus bersatu padu membangun daerah tanpa
harus dipisahkan oleh sekat-sekat birokrasi, kepentingan politik maupun wilayah
yang telah dimekarkan.
Mbojo
adalah sesuatu yang bulat dan utuh yang dihasilkan melalui kesepakatan para
Ncuhi sebagai cikal bakal terbentuknya wilayah ini. Dengan Kata lain, bahwa
Orang-Orang Mbojo atau Dou Mbojo adalah orang-orang yang bersatu, memegang
teguh amanat, ulet dan pekerja keras. Untuk itu lah, Bima itu Mbojo memberikan
gugahan makna kebersamaan, persatuan dan kesatuan serta persaudaraan yang
kental seluruh elemen di Dana Mbojo. Terpanggil untuk memperkenalkan daerah
Bima/ Mbojo kepada Masyarakat Luar dan lebih-lebih kepada Dou Mbojo itu sendiri
agar tidak merasa asing akan daerah Bima / Dana Mbojo.
Berikut
ini kami coba sajikan secara acak berbagai Sejarah, Tradisi, Wisata / potensi
wisatanya yang kami rangkum dari berbagai tulisan dan narasumber sebagai
berikut :
BENTENG ASA KOTA
Di
Pintu masuk Kota Bima, tepatnya di teluk Bima sebelah utara terdapat sebuah
benteng. Masyarakat Bima menyebutnya dengan Benteng Asa Kota. Karena letaknya
tepat di laut sempit yang menjadi pintu masuk Bima lewat jalur laut.Benteng ini
penuh dengan romantika sejarah.
Karena
tidak setuju terhadap isi perjanjian Bongaya, Sultan Abdul Khair Sirajuddin
bersama Panglima perang Makassar Karaeng Popo meninggalkan Makassar dan
membentuk kekuatan armada angkatan laut Bima. Bagi Abdul Khair Sirajuddin
mentaati perjanjian Bongaya sama dengan bunuh diri dan tunduk pada Kompeni.
Selama
pelariannya dari Makassar dua pendekar itu menyerang, merampas dan
menenggelamkan kapal-kapal Kompeni karena kesal atas trik dan siasat adu domba
Kompeni yang memaksa iparnya Sultan Hasanuddin harus menandatangani perjanjian
Bongaya yang syarat dengan ketidak adilan. Di dalam perjanjian tersebut
terdapat lima pasal yang berhubungan dengan Bima. Dan salah satu pasalnya
adalah menangkap Abdul Khair Sirajuddin hidup atau mati.
Benteng
ini dibangun pada sekitar tahun 1667 di sebuah pulau kecil yang diberinama Nisa
Soma. Tepat dipintu masuk teluk Bima yang diberinama ASA KOTA( Asa= Mulut, Kota
= Kota). Jadi Asa Kota merupakan pintu masuk menuju Bima dengan melewati Teluk
Bima yang indah, tenang dan damai. Benteng Asa Kota dibangun dari tumpukkan
batu-batu besar dan kecil yang disusun rapi mengelilingi Nisa Soma seluas lebih
dari 1 hektar.
Pembangunan
Benteng Asakota dihajatkan untuk mengintai dan menghalau kapal-kapal Kompeni
yang memasuki wilayah Bima dan merupakan basis pertahanan armada Angkatan Laut
kerajaan Bima yang bernama Pabise. Bila ari laut surut, maka benteng Asa Kota
dengan daratan di sekitarnya terlihat menyatu. Penduduk sekitar sering mendaki
bukit di Nisa Soma ini untuk mencari kayu bakar.
Benteng Asa Kota adalah peninggalan
berarti dari perjalanan sejarah Dana Mbojo dan merupakan salah satu benda cagar
budaya yang dilindungi undang-undang. Benteng ini kondisinya sekarang cukup
memprihatinkan dan membutuhkan renovasi dan rekonstruksi sesuai bentuk aslinya
sebagai sebuah kenangan sejarah untuk generasi mendatang.
ASI MBOJO ( ISTANA BIMA )
Museum
Asi Mbojo (Bima)
Bima-Raba
adalah ibu kota kabupaten yang selalu menjadi tempat persinggahan dan menghubungkan
daerah timur,tengah dan barat dari Indonesia. Dengan mengunjungi Istana
Kesultanan terlebih dahulu kita akan ditunjukkan barang-barang bersejarah yang
menarik, seperti mahkota kesultanan dan beberapa keris yang bersarung emas
dengan tangkai yang terbuat dari gading.
Bangunan
yang dulunya merupakan pusat Kesultanan Bima dan pusat Pemerintahan Kabupaten
Bima pada tahun 1950 masih berdiri dengan kokoh dan tegap yang merupakan symbol
Dana Mbojo (Bima), atau lebih dikenal dengan nama Asi Mbojo. Dan kini oleh
Pemerintah setempat dijadikan sebagai Museum, awal dibangunya Asi Mbojo (Istana
Bima) pada tahun 1927 oleh arsitek Belanda yang bernama Obzicshteer Rehata dan
sebagiannya juga di desain oleh sultan sendiri yaitu Muhammad Salahuddin
(sulthan Bima yang terakhir).
Museum Asi mbojo diserahkan kepada
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) oleh Sultan Muhammad Salahuddin pada
tahun 1951, dan tahun 1989 resmi dijadikan Museum oleh pemerintah kabupaten
Bima hingga sekarang. Museum ini di kelola oleh pemerintak Kabupaten Bima dan
di kepalai oleh Bapak Ridwan Maman, S.Ag (40) dengan 24 Pegawainya.
Isi
dari beberapa koleksi Museum Asi Mbojo antara lain Benda-benda Pusaka
peninggalan Kerajaan dan kesultanan Bima, dan yang paling terpopuler dari
Koleksi Museum yaitu “Gunti Rante” sebuah parang yang sangat menakjubkan di
ukir pada Zaman Majapahit dan Mahkota Sulthan yang terbuat dari Emas. Koleksi –
koleksi Benda Pusaka, pengunjung Museum dapat melihatnya di ruangan Galeri
Benda Pusaka di lantai satu, di lantai satu juga terdapat ruangan galeri
benda-benda perkakas dan baju-baju peninggalan masyarakat pada zaman kerajaan
dan kesultanan, di lantai satu ini dulu merupakan kantor pusat pemerintahan
Kabupaten Bima 1951 hingga 1960. Bangunan – bangunan di lantai satu dan dua
masih asli dan tidak pernah di Renovasi hingga sekarang.
Bila
pengunjung juga ingin melihat Kamar tempat menginapnya Bung Karno (Ir.
Soekarno) pengunjung dapat melihatnya di lantai 2, di lantai 2 pengunjung juga
bisa melihat kamar – kamar Sulthan, putra Mahkota, dan kamar Putri. Ibu
Nurhaini (45) Pegawai Museum yang bertugas untuk menemani para pengunjung untuk
berkeliling kepada kami (Solud) bercerita “ bahwa dulu istana Asi yang pertama
pernah di Bom pada masa peperangan sehingga di bangun Asi Kontu (istana
belakang) untuk sementara, dan bangunan Museum saat ini adalah bangunan Asi
yang kedua setelah yang pertama di bom” begitulah yang diceritakan oleh ibu
Nurhaini.
Kamar tidur Ir. Soekarno saat mengunjungi Kesultanan Bima
Bila
ingin berkunjung ke Museum Asi Mbojo pasti tidaklah sulit menemukannya, karena
letaknya yang strategis pas di sebelah alun-alun Kota Bima, karcis untuk
masukpun sangat murah untuk Dewasa atau Umum hanya Rp. 2000, anak- anak Rp.
500, Turis Rp. 3000, dan Pelajar dan Mahasiswa Rp. 1000.
Menurut
kepercayaan Masyarakat Bima bahwa Museum Asi Mbojo masih memiliki Aura
mistisnya, banyak kejadian-kejadian aneh dan hal-hal gaib yang terjadi di
Museum ini, karena Asi (Istana) masih dijaga oleh para leluhur. Karakter
bangunan Museum Asi Mbojo dalam pandangan Masyarakat Bima pada umumnya sangat
Religius, dulu merupakan tempat semua masyarakat belajar Islam pada zaman
Kesultanan Bima.
DESA DONGGO
Donggo, dengan jarak 40 Km adalah desa tertua di Bima, penduduk desa ini memiliki pakaian dan tradisi yang berbeda dari desa-desa lainnya. Mereka memelihara tradisi etnik uniknya dengan selalu memakai pakaian hitam, masih mempertahankan tingkatan hierarkinya dan membangun rumah tradisional mereka sendiri.
Donggo
adalah sebuah Desa yang terletak di atas pegunungan Soromandi sebelah barat
Kota Bima dengan ketinggian 1200 Meter, Donggo mempunyai keistimewaan dari Desa
lain yang berada di Bima yaitu berbagai macam legenda rakyat dan tempat-tempat
peninggalan sejarah berada di Donggo, salah satu Legenda rakyat yang terkenal
yaitu kisah Putri La Hila.
La
Hila adalah nama Putri cantik anak dari raja Donggo dahulu kala, La Hila
mempunyai rambut sepanjang 7 buah bambu dan paras cantiknya sangat menggoda
para Raja yang melihatnya, kejadian yang melegenda dari La Hila yaitu dia
dikubur hidup-hidup karena dia tidak ingin menerima lamaran dari salah satu
Raja Bima, setelah kuburannya di buka ternyata jasad La Hila telah hilang,
hingga sekarang masyarakat Donggo mempercayai bahwa La Hila sering menampakkan
diri dengan wujud wanita cantik.
Di
Donggo masyarakatnya masih menjada adat istiadat leluhurnya sehingga masih
terdapat rumah yang dulunya bertempat tinggal kepala suku atau di sebut Ncuhi
Donggo yang terdapat di Donggo Mbawa, ada dua agama yang dianut oleh masyarakat
Donggo yaitu Kristen Katolik dan Islam, penganut agama Katolik di Donggo yang
uniknya yaitu mereka memakai nama Islam akan tetapi agamanya Katolik.
Ada
cerita rakyat yang menarik lagi di Donggo yaitu dahulu kala sebelum
terbentuknya kerajaan Bima, Raja dari Pulau Jawa yang dulu pernah berjanji akan
mengirim anaknya untuk memimpin tanah Mbojo (sebutan tanah Bima dahulu kala),
sang Raja mengirim kedua anaknya ke Bima dengan sebatang bambu, kemudian di pinggir
pantai Donggo hiduplah sepasang suami istri yang sudah tua renta dan belum
mempunyai anak, tiap malamnya mereka berdua mendengarkan bunyi gendang yang
sangat besar, dan mereka berdua pun memeriksa dari mana asal suara gendang
tersebut tetapi mereka tidak menemukan sumber suara tersebut.
Ke esokkan harinya Ompu (panggilan
sang suami) pergi kepinggir laut untuk mencari kayu bakar, dan dia menemukan
sebatang Bambu kemudian Ompu mengambilnya membawa pulang kerumahnya, malam
harinya suara gendang tersebut masih ada Ompu beserta istrinya sangat penasaran
dari mana suara gendang tersebut. Pagi harinya Ompu akan membelah kayu yang dia
kumpulkan dengan sebuah kapak, kemudian pas Ompu ingin memotong Bambu yang dia
temukan di pinggir pantai, mengeluarkan suara yang melarang memotong bambu
tersebut dan keluarlah dua pangeran bersaudara dari Bambu tersebut yang
merupakan anak dari Raja Pulau Jawa yang datang untuk memimpin Bima seperti
yang dijanjikan. Kemudian salah satu saudara tertua dari kedua bersaudara itu
menjadi Raja Bima yang bernama Indra Zambrud yang menjadi asal usul Raja-raja
Bima.
Di Bima, ada Teluk Paling Indah Se-Asia Tenggara
Teluk Bima yg berada di lebih kurang pusat kota Bima, wajib
kalian kunjungi. Teluk ini menarik karena pemandangan lautan dikelilingi
pegunungan yang amat indah. Di dalamnya terdapat teluk-teluk mungil yg
mempunyai potensi serta pesona alam yg memukau. Teluk Bima dan pelabuhannya
dinobatkan sebagai teluk yg paling indah kedua Se-Asia Tenggara sesudah teluk
Bayur di Sumatera.
RUMAH ADAT
1.
S A M B O R I
Sambori merupakan salah satu dari
lima desa di lereng gunung Lambitu di sebelah tenggara kota Bima.
Ada dua fersi tentang nama Sambori. Fersi pertama mengemukakan asal mula kata Sambori adalah SAMBORE (Palu), yang berarti adanya ketetapan hati dan keputusan untuk tetap tinggal di lereng Lambitu dan tidak lagi berpindah-pindah. Hal itu didasari kespekatan bersama dalam satu musyawarah sehingga jatuhlah Sambore(Palu) kesepakatan itu.
Fersi kedua, Sambori berasal dari kata SAMPORI yang dalam bahasa Bima berarti melepaskan diri. Karena setelah membangun pemukiman dan menemukan cara bercocok tanam yang menetap dengan kondisi lereng Lambitu yang subur, mereka memutuskan untuk melepaskan diri dari komunitas lainnya.
Ada dua fersi tentang nama Sambori. Fersi pertama mengemukakan asal mula kata Sambori adalah SAMBORE (Palu), yang berarti adanya ketetapan hati dan keputusan untuk tetap tinggal di lereng Lambitu dan tidak lagi berpindah-pindah. Hal itu didasari kespekatan bersama dalam satu musyawarah sehingga jatuhlah Sambore(Palu) kesepakatan itu.
Fersi kedua, Sambori berasal dari kata SAMPORI yang dalam bahasa Bima berarti melepaskan diri. Karena setelah membangun pemukiman dan menemukan cara bercocok tanam yang menetap dengan kondisi lereng Lambitu yang subur, mereka memutuskan untuk melepaskan diri dari komunitas lainnya.
Sebelum
pemekaran kecamatan pada tahun 2006, Sambori dan sekitarnya masuk dalam wilayah
kecamatan Wawo. Orang-orang Bima sering menyebut dengan nama Wawo Tengah.
Sambori dan desa-desa di sekitarnya terletak di ketinggian 700 Meter di atas
permukaan laut. Memandang Sambori dari kejauhan seperti negeri yang menggantung
menyelinap dalam awan dan kabut. Dibalut keluguan dan keramahan warganya,
Sambori adalah pelepas rindu akan nyanyian alam yang syahdu bersahaja.
Desa
Sambori berbatasan dengan Desa Renda kecamatan Belo Kabupaten Bima di sebelah
barat,dan hutan tutupan Arambolo di sebelah timur. Di sebelah utara berbatasan
dengan desa Teta sebagai ibukota kecamatan Lambitu, dan di sebelah utara
bersebelahan dengan desa Kawuwu kecamatan Langgudu. Desa Sambori terdiri dari
dua dusun yaitu Dusun Lambitu yang dihuni 222 Kepala Keluarga dan Sambori Bawah
(Dusun Lengge) yang dihuni 930 Jiwa serta 223 Kepala Keluarga.
Sebagai
daerah puncak yang berjarak sekitar 44,3 KM, Sambori potensial untuk
pengembangan tanaman Bawang Putih, Jeruk , Alphokat, Rambutan, Mangga, Pisang,
Sawo, Jambu Batu serta tanaman lainnya.Di lereng Sambori terdapat 275 pohon
Jeruk, 300 pohon Alpukat, 450 pohon Mangga, 300 pohon kelapa, 200 pohon pinang
serta aneka pepohonan lainnya.
Di
sector peternakan, kawasan Sambori sejak dulu memang telah dikenal sebagai
areal pengembalan ternak seperti kuda, kerba, Sapi dan Unggas. Namun yang
paling dominan digeluti warga Sambori dan sekitarnya adalah tanaman padi dan
Bawang Putih serta ternak Kerbau, Sapi, kambing dan jenis unggas. Berternak
memang telah menjadi tradisi turun temurun warga Sambori dan sekitarnya. Hal
itu dibuktikan dengan prototype Uma Lengge yang di lantai dasarnya memang
diperuntukkan untuk penyimpanan dan pemeliharaan ternak.
Desa
Sambori memiliki luas sekitar 1.802 Ha atau sekitar 33,58 % dari luas wilayah
kecamatan Lambitu. Sekitar 1.260 Ha adalah lahan Sawah dan tegalan.Sisanya
diperuntukkan untuk pemukiman dan prasarana umum, perkebunan rakyat dan kawasan
lindung seluas 736 Ha.Topografi wilayah Sambori dan sekitarnya berbukit-bukit
dan datar yang menyebar di sepanjang lereng Gunung Lambitu. Suhu udara di
Sambori rata-rata antara 20 hingga 25 C.
Berdasarkan
Sensus Penduduk dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bima Tahun 2010, Jumlah
penduduk desa Sambori sebanyak 1786 jiwa dengan jumlah penduduk Laki-laki
sebanyak 895 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 891 Jiwa. Jumlah kepala
keluarga sebanyak 440 KK yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dan
peternak.
Ladang Pengembangan Apotik
Hidup
Berada
di ketinggian 500 sampai 700 Meter Di atas permukaan Laut, Sambori dan
Sekitarnya sangat cocok untuk budidaya tanaman-tanaman obat seperti Jahe,
Kunyit, Lengkuas, Mengkudu, Temulawak, Kumis Kucing, Kencur, Bangle, Tempuyang
dan lain-lain. Tanaman ini disamping tumbuh secara liar di pegunungan Lambitu,
juga diupayakan dan dikembangkbiakkan oleh masyarakat. Yang paling banyak
dikembangkan warga disamping bawang putih dan padi adalah Kunyit dan Tempuyang.
Sejak
dulu, orang-orang Sambori memang terkenal sebagai penjual Kunyit dan Tempuyang
bahkan sampai di kota Bima dan Dompu. Sekitar 20 Hektar lahan tegalan di
Sambori dimanfaatkan warga untuk menanam kunyit. Ada juga sekitar 7 Hektar
lahan yang dimanfaatkan untuk menanam Tempuyang. Proses produksi dan pemasaran
warga Sambori terhadap tanaman obat ini masih sangat sederhana dan tradisional
yaitu dengan menjajakan dari kampung ke kampung, disamping dimanfaatkan untuk
kebutuhan pribadi.(*alan).
2.
RUMAH LENGGE DI WAWO
Dari kejauhan tampak sebuah gubuk
yang meruncing segitiga yang terlihat banyak yang atapnya terbuat dari jerami,
itulah Rumah Lengge, rumah tradisional masyarakat Wawo yang mempunyai gaya
arsitek yang unik , dengan bahan bangunannya kayu dan bambu beratapkan jerami.
Dan Rumah Lengge merupakan rumah asli Pribumi suku Mbojo (Bima).
Ternyata rumah Lengge ini berdiri
diatas batu kali sebagai dasar rumah, yg hanya empat kaki tanpa semen, rumah
lengge ini hanya memakai paku yang terbuat dari kayu dan yang lebih menarik
lagi untuk mengikat bambunya tali yang terbuat dari kulit pohon. Rumah Lengge
ini juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi di atasnya dan ruang tidur
dibawah yang mirip saung yang berukuran atau luasnya hanya 8×4 meter.
Rumah Lengge ini ternyata juga rumah
anti tikus, dimana tikus maupun kucing tidak dapat masuk dirumah Lengge karena
dasar batu rumah dan tiang-tiangnya mempunyai siku yang berbentul huruf L
sehingga tikus maupun binatang merayap lainya susah untuk masuk kerumah Lengge.
Masyarakat di desa Wawo saat
sekarang masih menggunakan rumah Lengge sebagai tempat penyimpanan Padi ataupun
hasil pertanian mereka. Di Wawo tepatnya di Desa Maria masih berjejer rumah
Lengge dan Jompa (rumah yang serupa dengan Lengge), dan dijadikan tempat untuk
kunjungan wisatawan yang ingin melihat rumah Lengge dan kehidupan tradisional
masyarakat setempat
KEKAYAAN ALAM
1.
RUMPUT LAUT
Budidaya
Rumput Laut disamping untuk kesejahteraan masyarakat bisa juga berpotensi untuk
tujuan wisata. Budidaya rumput laut ini dikembangkan Di Kecamatan Sape, Lambu,
Langgudu dan Wera dengan rata-rata produksi per tahun mencapai 171 Ton.
Pengolahan yang baik dapat meningkatkan produksi. Budidaya rumput laut akan
tetap dikembangkan guna menjawab tantangan pasar yang permintaannya terus
mengalami peningkatan setiap tahun. Potensi pesisir yang cocok untuk rumput
laut merupakan peluang untuk terus meningkatkan produksi rumput laut di
Kabupaten Bima guna memenuhi permintaan ekspor yang terus mengalami peningkatan
setiap tahunnya. Di Kota Bima juga terdapat areal pembudidayaan Rumput Laut
yang dalam Bahasa Bima disebut KAHAO. Lokasinya adalah di sekitar pantai So
Nggela, Bonto hingaa Toro Rui Londe di kecamatan Asa Kota.
2.
BUDIDAYA MUTIARA
Bima
terletak pada gugusan kepulauan sunda kecil yang sekarang kita sebut dengan
Nusa Tenggara Barat. Posisinya sangat penting dalam perspektif Nusantara. Tak
heran jika Bima dalam sejarahnya menjadi bagian daerah pelabuhan penting dalam
merangkai keutuhan wilayah Nusantara. Pada masa colonial, Belanda menjadikan
Bima sebagai daerah transit menuju belahan timur Indonesia baik itu dalam
kepentingan penjajahannya maupun dalam regulasi perdagangannya.
Letak Bima yang sangat strategis ini tidak lain adalah pemberdayaan potensi wilayah yang terkait dengan kelautan. Akibatnya, Bima menjadi daerah yang dikenal dunia luar.
Letak Bima yang sangat strategis ini tidak lain adalah pemberdayaan potensi wilayah yang terkait dengan kelautan. Akibatnya, Bima menjadi daerah yang dikenal dunia luar.
Salah
satu potensi Bima yang sudah dikenal luas adalah Mutiara. Usaha Budidaya
Mutiara sudah berlangsung lama dan berlangsung di beberapa wilayah kecamatan
seperti di Lambu, Wera, Sanggar dan Langgudu. Yang terkenal adalah PT. Bima
Sakti Mutiara Di kecamatan Lambu. Tidak tertutup kemungkinan kerang mutiara
dijumpai di sejumlah wilayah pesisir di Bima selain wilayah-wilayah kecamatan
yang disebutkan di atas. Mutiara merupakan komoditas unggulan perikanan
budidaya yang perlu ditingkatkan produksinya. Karena hampir seluruh produksinya
ditujukan untuk diekspor keluar negeri. Para pembeli mutiara di Jepang telah
banyak yang mengetahui bahwa mutiara tersebut berasal dari Indonesia terutama Bima,
sehingga akan lebih baik bila membeli secara langsung dari Indonesia. Memang
pengembangan usaha budidaya mutiara masih banyak mengalami hambatan baik yang
bersifat teknis maupun non teknis. Walaupun saat ini kondisi keamanan dapat
dikatakan lebih kondusif, tetapi masih sulit bagi perusahaan budidaya mutiara
yang telah hancur untuk bangkit kembali. Untuk membangkitkan kembali usaha
budidaya mutiara sekaligus menciptakan iklim usaha yang kondusif, perlu
serangkaian langkah dan kebijakan untuk betul-betul mendorong usaha budidaya
mutiara ini. Sehingga dikemudian hari melalui usaha ini akan dapat menyerap
tenaga kerja dan sekaligus menjadi sumber PAD daerah.
Mutiara
adalah suatu benda keras yang diproduksi di dalam jaringan lunak (khususnya
mantel ) dari moluska hidup. Sama seperti kulit moluska, mutiara terdiri dari
kalsium karbonat dalam bentuk kristal yang telah disimpan dalam lapisan-lapisan
konsentris. Mutiara yang ideal adalah yang berbentuk sempurna bulat dan halus,
tetapi ada juga berbagai macam bentuk lain. Mutiara alami berkualitas terbaik
telah sangat dihargai sebagai batu permata dan objek keindahan selama
berabad-abad, dan oleh karena itu, kata “mutiara” telah menjadi metafora untuk
sesuatu yang sangat langka, baik, mengagumkan, dan berharga.
Mutiara
berharga terdapat di alam liar, tapi dalam kuantitas yang sangat jarang.
Mutiara budidaya atau mutiara yang berasal dari tiram merupakan mayoritas dari
mutiara-mutiara yang dijual di pasaran. Mutiara laut dihargai lebih tinggi dari
mutiara air tawar. Mutiara palsu juga banyak dijual dengan harga murah, tetapi
kualitasnya biasanya jelek – dan secara umum, mutiara buatan dapat dengan mudah
dibedakan dari mutiara asli. Mutiara banyak dibudidayakan terutama untuk
digunakan sebagai perhiasan , namun di masa lalu mutiara juga digunakan sebagai
hiasan pada pakaian-pakaian mewah. Mutiara juga bisa dihancurkan dan digunakan
dalam kosmetik, obat-obatan, atau dalam formula cat.
3.
BAWANG MERAH
BIMA, NTB - Untuk lebih
memastikan pasokan bawang merah aman dan tidak diperlukan impor, Menteri
Pertanian, Amran Sulaiman melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Bima, Nusa
Tenggara Barat (NTB) untuk mengikuti panen raya bawang merah.
Panen bawang merah yang ada di Bima menghasilkan sebanyak 40 ribu ton. Sedangkan panen di Brebes menghasilkan produksi bawang merah sebesar 50 ribu ton, sehingga total produksi dua sentra produksi tersebut mencapai sebesar 90 ribu ton.
"Artinya Brebes dan Bima sudah memenuhi kebutuhan (bawang merah) nasional bulan ini sudah cukup. Itu belum termasuk Banyuwangi, Enrekang, Janeponto, Minahasa, Probolinggo. Dua sentra ini saja sudah cukup," ujar Mentan Amran.
Mentan menjelaskan, produksi hasil panen di Bima akan langsung dibeli oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) untuk segera disebarkan ke daerah-daerah yang menunjukkan harga bawang merah tinggi.
Panen bawang merah yang ada di Bima menghasilkan sebanyak 40 ribu ton. Sedangkan panen di Brebes menghasilkan produksi bawang merah sebesar 50 ribu ton, sehingga total produksi dua sentra produksi tersebut mencapai sebesar 90 ribu ton.
"Artinya Brebes dan Bima sudah memenuhi kebutuhan (bawang merah) nasional bulan ini sudah cukup. Itu belum termasuk Banyuwangi, Enrekang, Janeponto, Minahasa, Probolinggo. Dua sentra ini saja sudah cukup," ujar Mentan Amran.
Mentan menjelaskan, produksi hasil panen di Bima akan langsung dibeli oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) untuk segera disebarkan ke daerah-daerah yang menunjukkan harga bawang merah tinggi.
MAKANAN KHAS BIMA
1. Kopa Sahe Dari TENTE
Bagi
warga Bima, Menu Kopa Sahe merupakan salah satu menu pilihan untuk berbuka
puasa. Yah, Kopa Sahe hanya dikenal di desa Tente kabupaten Bima. Seperti apa
menu makanan khas Bima yang satu ini ? Berikut, Kru Sarangge melaporkan untuk
anda.
Desa
Tente kecamatan Woha Kabupaten Bima sudah lama dikenal sebagai urat nadinya
perekonomian di daerah ini. Bisa dikatakan Tente merupakan pusat perdagangan
dan perbelanjaan masyarakat dari berbagai pelosok pedalaman di kabupaten Bima
seperti dari Langgudu, Parado, Monta, Belo dan Palibelo.
Disamping itu, di desa ini juga terdapat satu tempat pemotongan hewan yang dikenal dengan BANTE. Pemotongan hewan seperti kerbau, Sapi dan Kambing dilakukan setiap hari.
Disamping itu, di desa ini juga terdapat satu tempat pemotongan hewan yang dikenal dengan BANTE. Pemotongan hewan seperti kerbau, Sapi dan Kambing dilakukan setiap hari.
Ada
satu makanan khas dari desa ini yaitu Soto Kaki Kerbau atau yang dikenal dengan
Kopa Sahe. Ini adalah salah satu produk andalan Desa Tente yang cukup banyak
digemari oleh berbagai kalangan, baik orang Bima sendiri maupun orang luar
Bima. Kopa Sahe merupakan makanan yang berbahan dasar dari kaki kerbau. Kaki
Kerbau diolah dan dimasak dengan bumbu yang telah di tentukan jenis dan
porsinya. Salah satu pedagang Kopa Sahe Rohana Ahmad yang telah lama melakoni
profesi ini mengatakan Kopa Sahe cukup diminati. Kisaran hasil yang
diperolehnya setiap hari adalah 300-400 ribu rupiah. Namun menurutnya hasil
tersebut belum mampu digunakan untuk modal mengembangkan usahanya tersebut.
Harapnya Pihak Pemerintah memperhatikan pedagang-pedagang kecil agar dapat
mengoptimalkan pemanfaatan prodak daerah sehingga kian diminati dan dilirik
khalayak ramai.
Hanya
saja, penjualan dan pemasaran makanan ini masih dilakukan secara tradisional
dengan dijajakan dari kampung ke kampung. Belum ada satupun pedagang Kopa Sahe
yang menjual di di depan jalan utama Tente atau di warung-warung di pasar
Tente. Justru yang banyak dijumpai di depan jalan-jalan utama Tente adalah
warung dan rombong Bakso, Nasi campur dan soto serta Sate Kambing. Ini tentunya
menjadi PR bersama untuk mendorong para pedagang Kopa Sahe menjual makanan ini
di depan jalan-jalan utama Tente agar mudah dilihat dan dikunjungi daripada
berada di dalam kampung seperti yang dilakukan selama ini.
Desa
Tente letaknya tidak jauh dari Bandar Udara Muhammad Salahuddin Bima. Jika
menggunakan kendaraan bermotor cukup menghabiskan waktu sektar 10 menit. Secara
geografis desa ini berdaratan rendah dan diapit oleh sawah. Sebalah Selatan
berbatasan dengan Desa Naru, sebelah Utara berbatasan dengan Rabakodo, Sebelah
Barat berbatasan dengan Samili dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Cenggu
Kecamatan Belo. Baru-baru ini Tente dimekarkan menjadi dua bagian yaitu desa
Nisa dan desa Naru. Dengan jumlah penduduk sebanyak 3.383 orang dan 878 Kepala
Keluarga, sumber mata pencaharian masyarakat Desa Tente beragam, diantaranya
pedagang, petani, pelaut dan PNS.
2. Kadodo Dari Desa NUNGGI
WERA
Dodol
atau yang dalam bahasa Bimanya disebut Kadodo telah dilakukan secara turun
temurun oleh masyarakat Bima sejak nenek moyang.
Di Bima makanan ini telah secara turun temurun dibuat oleh masyarakat di kecamatan Wera. Meskipun pembuatan Dodol semacam ini juga banyak dibuat oleh masyarkat di wilayah lainnya, tapi dodol yang terkenal adalah Kadodo Wera. Ada satu desa di kecamatan Wera yang orang-orangnya sangat ahli membuat Kadodo yaitu di desa Nunggi.
Di Bima makanan ini telah secara turun temurun dibuat oleh masyarakat di kecamatan Wera. Meskipun pembuatan Dodol semacam ini juga banyak dibuat oleh masyarkat di wilayah lainnya, tapi dodol yang terkenal adalah Kadodo Wera. Ada satu desa di kecamatan Wera yang orang-orangnya sangat ahli membuat Kadodo yaitu di desa Nunggi.
Pada
masa lalu, pembuatan Kadodo hanya dilakukan pada saat ada hajatan seperti
perkawinan, khatam Al-qur’an, khitanan dan lain-lain. Pembuatan Kadodo
dilakukan secara gotong royong oleh warga diiringi musik tradisional Bima
seperti Biola dan Gambo, Rawa Mbojo serta atraksi Gantaong. Sambil menonton dan
menikmati musik dan permainan itu, para pembuat Kadodo memaruk kelapa,
mengumpulkan kayu bakar, menggali Rubu (semacam tungku perapian yang digali
terlebih dahulu untuk dimasukan kayu-kayu bakar). Sambil berpantun dan bersyair
para pembuat Kadodo mengaduk Kadodo dengan Kayu Kosambi sepanjang satu meter
yang memang telah disiapkan sebagai pengaduk Kadodo.
Menurut
Halimah (58 thn), salah seorang pembuat Kadodo asal desa Nunggi bahan pembuatan
Kadodo Wera untuk sebuah perayaan dibutuhkan 10 kg tepung beras ketan, 50
batang gula merah, 30 butir kelapa, gula pasir, garam, dan bawang Goreng. Untuk
membuat dodol yang bermutu tinggi cukup sulit karena proses pembuatannya yang
lama dan membutuhkan keahlian. Dalam tahap pembuatannya, bahan-bahan dicampur
bersama dalam Kuali yang besar dan dimasak dengan api sedang. Dodol yang
dimasak tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan, karena jika dibiarkan begitu
saja, maka dodol tersebut akan hangus pada bagian bawahnya dan akan membentuk
kerak.
Oleh
sebab itu, dalam proses pembuatannya campuran dodol harus diaduk terus menerus
untuk mendapatkan hasil yang baik. Waktu pemasakan dodol kurang lebih
membutuhkan waktu 4 jam dan jika kurang dari itu, dodol yang dimasak akan
kurang enak untuk dimakan. Setelah 2 jam, pada umumnya campuran dodol tersebut
akan berubah warnanya menjadi cokelat pekat. Pada saat itu juga campuran dodol
tersebut akan mendidih dan mengeluarkan gelembung-gelembung udara.Untuk
selanjutnya, dodol harus diaduk agar gelembung-gelembung udara yang terbentuk
tidak meluap keluar dari kuali sampai saat dodol tersebut matang dan siap untuk
diangkat. Yang terakhir, dodol tersebut harus didinginkan dalam periuk yang
besar. Untuk mendapatkan hasil yang baik dan rasa yang sedap, dodol harus
berwarna coklat tua, berkilat dan pekat. Setelah itu, dodol tersebut bisa
dipotong dan dimakan.
Selama
ini pembuatan Kadodo Wera masih bersifat tradisional terutama pada saat hajatan
saja. Pemasarannya pun nyaris tidak pernah dilakukan di luar kecamatan Wera.
Perlu upaya pendekatan, fasilitasi dan sentuhan pemberdayaan terhadap para
pembuat Kadodo Wera agar produk warisan leluhur ini mampu menerobos pasar.
Seperti Dodol Garut dan dodol-dodol lainnya di tanah air.
3. MANGGE MADA
Mangge Mada adalah
salah satu masakan khas Bima yang sangat enak. Meskipun tidak sesering di
waktu-waktu lalu, namun masakan ini tetap akan dijumpai dalam kehidupan
masyarakat Bima. Mangge mada akan menjadi santapan lezat terutama saat-saat
menikmati alam terbuka. Variasi masakan yang berbahan dasar Jantung Pisang ini
bisa bermacam-macam sesuai selera. Jika dahulu nenek atau ibu konon sering
menambahkan daging burung (maaf, ini jaman lampau), sekarang bisa diganti
dengan daging ayam. Biasanya ayam kampong. Karena orang Bima sangat fanatik
dengan ayam kampung.
4. Uta Sepi Tumis
Yang satu ini merupakan makanan kesukaan orang bima, yg terbuat dari udang udang kecil yg di tumis dng tomat, cabe, asam muda dan kemangi.
5. Uta Poco Karamba Tumis
Makanan yang satu ini sungguh akan menambah selera makan anda , disamping rasanya yang gurih , makanan ini juga memliki cita rasa yang sangat khas , sehingga bagi anda para pencobanya mustahil bisa melupakan rasa makanan ini.
6. Jame Mangge
Jame mangge adalah sebuah sambal yang dibuat dari asam muda yang diulek dengan cabe, garam dan bumbu dapur lainnya. Sambal yang satu ini sangat cocok disajikan dengan ikan teri , ikan Bakar , karena rasa yang asam dari sambal nya membuat anda gak merasa kenyang dengan hanya makan satu piring saja .
7. Tota Fo'o
Tota fo'o yang dalam bahasa indonesianya adalah mangga cincang adalah suatu sambal yang sangat khas dan terkenal di daerah bima. Rasa asam dari mangganya serta peds dari cabe yang tumbuk membangkitkan selera makan anda yang mencobanya. Jadi kalau anda berlibur ke daerah Bima, belum lengkap rasanya jika anda belummencoba sambal yang nikmat ini.
KESENIAN DARI BIMA
1.
MPA'A GANTAO
Dalam
seni Tari Bima, semua jenis tari rakyat, disebut “mpa’a ari mai ba asi” atau
tari di luar pagar istana (ASI). Hal ini berarti bahwa atraksi kesenian ini
tumbuh dan berkembang di luar lingkungan istana, yang lazim disebut dengan Tari
Rakyat. Biarpun tari rakyat tumbuh dan berkembang di luar istana, namun sultan
melalui para seniman istana, tetap mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan
tarian rakyat, dengan demikian mutu tari tetap terpelihara dan terpacu pada
nilai dan norma agama dan adat yang islami.
Mpa’a
Gantao adalah salah satu tarian rakyat yang telah tumbuh sejak zaman kesultanan
Bima. Atraksi keseniaan ini diperkirakan ada sejak masa pemerintahan Sultan
Abdul Khair Sirajuddin( 1648-1685).Atraksi kesenian ini cukup popular bagi
masyarakat Bima, karena hingga saat ini masih tetap eksis dan dipertunjukkan
dalam berbagai acara dan hajatan baik di lingkup Pemerintah Daerah maupun
masyarakat. Biasanya Gantao dipertunjukkan pada acara hajatan pernikahan maupun
sunatan.
Mpa’a
Gantao dimainkan oleh dua orang penari, ragam geraknya sama dengan ragam gerak
silat, tetapi dimainkan dalam irama gerak yang cepat, begitu pula musik
pengiringnya tidak jauh berbeda dengan irama musik Mpa’a sila(Silat), hanya
iramanya lebih cepat. Alat music pengiringnya adalah dua buah gendang,
Tawa-Tawa, Gong serta alunan Serunai Khas Mbojo yang disebut “ Sarone”. Dalam
satu group Gantao terdiri dari lima orang pemain music dan 2 orang pemain
Gantao.
Atraksi
ini tergolong masih tetap eksis keberadaannya hingga saat ini. Meskipun hanya
beberapa sanggar seni saja yang tetap menekuninya. Persoalan mendasar yang
dihadapi para seniman adalah minimnya pembinaan dan bantuan peralatan serta
kostum. Disamping itu, proses regenerasinya sangat lamban. Peniup Sarone saja
semakin langka, aplagi penabuh gendang. Diperlukan pembinaan dan proses
regenerasi untuk mengajak para pemuda bergelut di seni budaya tradisional Mbojo
dalam rangka upaya pelestariannya.
2.
TARI BONGI MONCA
tarian
wura bongi moca
Rombongan tamu yang
datang berkunjung ke kota Bima akan disambut oleh Tarian Selamat Datang atau
yang dikenal dengan Tarian Wura Bongi Monca.
Gongi Monca adalah
beras kuning. Jadi tarian ini adalah Tarian menabur Beras Kuning kepada
rombongan tamu yang datang berkunjung. Tarian ini biasanya digelar pada
acara-acara penyabutan tamu baik secara formal maupun informal.
PAKAIAN KHAS BIMA
Pakaian Sehari-Hari Kaum
Lelaki
Untuk pakaian sehari – hari laki – laki dewasa dan tua biasanya
memakai Sambolo (ikat kapala) yang terbuat dari kain kapas tenunan sendiri
dengan hiasan kotak – kotak berwarna hitam atau putih. Dipadu dengan baju mbolo
wo’o atau baju tanpa kerah yang terbuat dari kain katun dijahit sendiri dan
biasanya berwarna hitam dan putih. Sarungnya bukan nggoli melainkan tembe me’e
(sarung hitam) khas Sambori yang dipintal dan ditenun sendiri dari bahan kapas
dan diberi warna hitam dari ramuan nila dan taru. Cara pemakaiannya dengan cara
dililitkan pada bagian perut, dalam bahasa Bima disebut Katente. Untuk
aksesoris lazimnya mereka mengenakan weri atau bala (kain ikat pinggang) yang
diselempangkan melingkar pada bagian perut sampai di atas paha yang berrfungsi
untuk menguatkan lilitan sarung atau katente.
Pakaian Perempuan Tua
Dan Dewasa
Lagi pula untuk perempuan tua dan dewasa, mereka umumnya
mengenakan baju poro me’e yang terbuat dari kain katun yang dijahit sendiri dan
bentuknya menyerupai baju poro pada pakaian adat masyarakat Bima umumnya.
Sarungnya yakni tembe me’e, yang dipintal dan tenun sendiri, dibuat agak
panjang karena cara memakainya yaitu dengan cara dimasukan secara lurus melalui
kepala atau kaki. Kemudian dibiarkan dilepas kembali sampai ke betis atau
diatasnya diikat satu kali pada bahu, sekedar pelengkap mereka mengenakankababu
(Sejenis Selepang),yang diselempangkan pada bahu. Rambut pun tidak serampangan,
mereka sangat menyukai tata rambut dengan membuat semacam ikatan yang di bentuk
meninggi di atas kepala yang disebut samu’u tu’u.
Pakaian Untuk Remaja
Pria
Untuk remaja pria, ada pakaian khasnya. Mereka biasanya mengenakan
baju yang dibuat dari benang katun yang berwarna putih atau warna lainnya
biasanya berupa kemeja lengan pendek. Sarungnya tembe me’e yang ditenun
sendiri. Ikat pinggang atau salepe, terbut dari kain tenun sendiri. Biasanya
berbentuk seperti selendang yang di buat memanjang dengan lebar kurang dari
ukuran selendang. Mereka pun mengenakan cincin yang terbuat dari bahan besi
putih, perak diberi batu akik.
Pakaian Untuk Remaja
Puteri
Untuk remaja putri, lazimnya mengenakan baju poro me’e yang dijahit
sendiri yang terbuat dari kain katun. Sarungnya adalah tembe me’e biasanya
bergaris putih yang terbuat dari benang kapas yang di pintal dan ditenun
sendiri. Supaya kelihatan anggun, remaja putri seringkali mengenakan kababu
yang terjuntai dari bahu ke bawah dengan cara diselempangkan. Supaya tanpak
manis, rambutnya di tata dengan mengikat di bagian belakang kepala yang sisebut
Samu’u. Adapun untuk perhiasan, para remaja putrinya mengenakan kondo (kalung)
yang terbuat dari biji – bijian berwarna merah dan hitam , jima edi (gelang
kaki), jima rima (gelang tangan) yang terbuat dari besi putih atau perak dan
menyerupai ular.
BUAH KHAS BIMA
1.
KETIKA PANEN GAROSO MBOJO
Antara
bulan Pebruari hingga April buah Garoso melimpah di kabupaten dan Kota Bima.
Pada musim-musim seperti ini para pedagang Garoso berjejer untuk menjual Garoso
di sepanjang jalan dari Desa Panda hingga memasuki kota Bima..
Ina Amnah salah seorang penjual Garoso yang ditemui di pinggir jalan di pantai Oi Niu mengemukakan, bahwa dirinya sebenarnya penjual ikan dan sayuran. Namun ketika Musim Garoso tiba ia dan anak-anak serta keluarga beralih profesi untuk sementara waktu dengan menjual Garoso baik yang berasal dari kebunnya maupun yang didapat dari pemilik kebun lainnya di sekitar Gunung Panda dan Oi Niu. “ Alhamdulillah nak, di musim Garoso ini adalah sedikit rejeki untuk uang sekolah anak-anak.” Ujarnya sambil melayani para pembeli yang biasanya ramai mengunjungi pinggir-pinggir pantai teluk bima di sore hari.
Ina Amnah salah seorang penjual Garoso yang ditemui di pinggir jalan di pantai Oi Niu mengemukakan, bahwa dirinya sebenarnya penjual ikan dan sayuran. Namun ketika Musim Garoso tiba ia dan anak-anak serta keluarga beralih profesi untuk sementara waktu dengan menjual Garoso baik yang berasal dari kebunnya maupun yang didapat dari pemilik kebun lainnya di sekitar Gunung Panda dan Oi Niu. “ Alhamdulillah nak, di musim Garoso ini adalah sedikit rejeki untuk uang sekolah anak-anak.” Ujarnya sambil melayani para pembeli yang biasanya ramai mengunjungi pinggir-pinggir pantai teluk bima di sore hari.
Ketika
ditanya berapa yang laku tiap hari, sambil tesenyum Ina Amnah menjawab bahwa
penghasilannya sehari dari menjual Garoso bisa mencapai 100 ribu rupiah
terutama ketika hari minggu dan hari libur. Warga yang biasa berdatangan di
tempat itu adalah warga Kabupaten dan Kota Bima, Dompu bahkan tamu-tamu yang
datang dari Mataram dan Jakarta.
Garoso
adalah sejenis buah Srikaya termasuk pohon buah-buahan kecil yang tumbuh di
tanah berbatu, kering, dan terkena cahaya matahari langsung. Tumbuhan yang
asalnya dari Hindia Barat ini akan berbuah setelah berumur 3-5 tahun. Srikaya
sering ditanam di pekarangan, dibudidayakan, atau tumbuh liar, dan bisa
ditemukan sampai ketinggian 800 m dpi.
Perdu
atau pohon kecil ini mempunyal tinggi 2-5 m, kulit pohon tipis berwarna
keabu-abuan, getah kulitnya beracun. Daun bertangkai, kaku, ietaknya berseling.
Helaian daun bentuk lonjong sampai jorong menyempit, ujung dan pangkai runcing,
tepi rata, panjang 6-17 cm, lebar 2,5-7,5 cm, permukaan daun warnanya hijau,
bagian bawah hijau kebiruan, sedikit berambut atau gundul. Bunga 2-4 kuntum
(berhadapan), keluar dan ujung tangkai atau ketiak daun, warnanya hijau kuning.
Buahnya buah semu, bentuk bola atau kerucut, permukaan berbenjol-benjol,
warnanya hijau berserbuk putih, penampang 5-10 cm, jika masak, anak buah akan
memisahkan diri satu dengan lainnya. Warnanya hijau kebiru-biruan. Daging buah
berwarna putih, rasanya manis. Biji masak berwarna hitam mengkilap.
Ina
Amnah dan ratusan orang yang berjualan di pinggir jalan di kota dan kabupaten
Bima adalah bagian yang tidak terpisahkan ketika Musim Garoso tiba. Mereka
adalah pedagang musiman yang memiliki profesi lain sebelum maupun setelah musim
Garoso. Inilah romantika Bima yang tetap menjadi icon setiap tahun antara bulan
Pebruari hingga April.
2. Kawista /Kawis (Limonia Acidissima)
Di Dompu buah
ini disebut Kinca, sedangkan di Bima biasa disebut Kawi. ini
menyukai daerah kering. Daunnya kecil-kecil. Pohonnya tinggi (bisa mencapai
12m) serta cabang yang tidak neko-neko, anggap saja lugu. Ada lhoo di dalam
kawasan Candi Borobudur. Jika ingin memakannya, harus dibanting-banting dulu
untuk merusak kulit luarnya yang keras. Saat masih muda rasanya na’udzubillah!
Nggak enak. Perpaduan antara rasa kecut, sepat, dan entah rasa apa. Setidaknya
itulah deskripsi orang luar saar disuruh mencicipi rasa Kinca. Tapi tetap saja
organ-organ pencernaan Dou Mbojo yang mesinnya bandel ini bisa menerima rasa
Kinca apa adanya. Keajaiban dari Kinca adalah, rasanya bisa menjadi lebih
“ramah” jika diberitreatment berupa perendaman (minimal semalaman)
kemudian dilanjutkan dengan penjemuran (minimal seharian). Rasa sepat dan
kecutnya yang ekstrim tadi langsung hilang entah kemana. *yang bisa menjelaskan
hal ini secara ilmiah, kenapa, mohon di kolom koment yaa. Saat matang, rasanya
enak kok.
3. BABAL NANGKA/SAFIRI NANGGA
Babal Nangka, Safiri Dou Mbojo menyebutnya, merupakan bunga
dari Pohon Nangka (Artocarpus heterophyllus) yang
disebut Babal. Babal ini akan menghitam setelah matang, kemudian jatuh dengan
sendirinya. Nah, sebelum matang dan menghitam itulah saat yang yang tepat untuk
dirujak. Rasanya Sangat sepet, apalagi yang masih Muda.Nah, sebelum matang dan
menghitam itulah saat yang tepat untuk dirujak. Rasanya saaaangat sepet,
apalagi yang masih hijau.
4.
CERMAI (Phyllantus acidius)
Di daerah lain, buah ini biasa dikonsumsi setelah
menjelma menjadi manisan. Tapi, apa kawan petualang sudah mencoba mencicipi
buah cermei yang masih belum diapa-apakan? Pasti, kawan langsung jadi genit.
Eh, ngerti kan, refleks wajah saat memakan makanan yang asam?
5.
BUAH BIDARA/RANGGA
6. Sambi (Schleichera oleosa)
Dari pohon Sambi, kulit buahnya oleh Dou Mbojo
dijadikan obat untuk beberapa penyakit, sedangkan buahnya dijadikan sebagai bahan
rujak. Kadang ada juga yang memanfaatkan daunnya sebagai sayur.
7. Kecapi (Sandoricum koetjape)
Buah ini jika dipotong, tampilannya seperti manggis.
Rasanya, luar biasa masam pada kulit sedangkan bijinya sedikit tidak terlalu masam.
Tapi tetap saja tema besarnya; masam.
TEMPAT WISATA DI BIMA
1.
PANTAI LAWATA
Pantai
Lawata adalah berupa sebuah “tonjolan” ke teluk Bima. Di Lawata terdapat sebuah
bukit kecil yang memiliki beberapa buah gua kecil.Lawata memang sudah sejak
dulu menjadi sebuah obyek wisata atau tempat piknik bagi masyarakat Bima.
Lawata
terletak hampir di luar kota Bima. Pantainya bukanlah tempat yang bagus untuk
bermain air, namun air (laut)nya bisa dibilang cukup jernih walaupun kadang
berlumpur dan banyak batu-batu yang berserakan. Karena historinya, Lawata
kemudiandibangundibuatkan banyak “cottage” yang berderet di sepanjang
pantainya. Setiap cottage memiliki bagian “ dalam yang bisa digunakan untuk
lesehan, bagian luar/depan yang bisa digunakan untuk memandang ke arah
laut/teluk, dan tempat berbeque di sebelah luar/belakang. Tampaknya, setiap
cottage cukup untuk sebuah keluarga atau rombongan yang lebih dari 10 orang.
2. M O N T
A
Kecamatan
Monta terdiri dari beberapa desa yakni : baralau, monta, sakuru, tangga, sie,
simpasai, pela dan waro. Sebelum menggalami penggembangan wilayah kec.parado
termasuk kedalam kec.monta.Umumnya masyarakat dikecamatan ini mengantungkan
mata pencahriannya pada sektor pertanain khusunya bawang.
Masyarakat
Monta juga mulai membudi dayakan Kacang Koro yang dinilai mempunyai kualitas
Ekspor keluar negeri yang sangat menjanjikan, budi daya kacang koro ini dinilai
suatu perubahan tradisi menanam masyarakat setempat dari Padi dan Bawang, untuk
mencoba menanam kacang koro di area tanah mereka.
Kecamatan
Monta sebenarnya memiliki potensi pariwisata untuk dikembangkan karena
prospeknya sangat menjanjikan seperti Pantai wane yang menjanjikan potensi
pemandangan laut yang begitu indah dan alami dengan ombaknya yang besar sangat
cocok untuk tempat berselancar.
3. SOROMANDI
Wisata Alam Soromandi Bima adalah salah satu kota kecil yang terletak di ujung timur
Propinsi NTB (Nusa Tenggara Barat), di bumi Ngaha Aina Ngoho ini tersimpan
banyak sekali aset-aset alam yang menyimpan sejuta pesona yang masih belum
terjamah, dan perlu untuk di gali dan dijadikan sebagai objek wisata.
Aset alam ini bisa dijadikan sebagai daya tarik para wisatawan domestik maupun asing. Gambar ini ambil dari hasil jepretan komunitas pecinta alam bima "KOPA MBOJO" (untuk komunitas kopa mbojo maaf sudah mengambil hasil jepretan anda tanpa ijin, tujuan kita hanya semata memperkenalkan Dana Mbojo / bumi Ngaha Aina ngoho yang kita cintai.
Aset alam ini bisa dijadikan sebagai daya tarik para wisatawan domestik maupun asing. Gambar ini ambil dari hasil jepretan komunitas pecinta alam bima "KOPA MBOJO" (untuk komunitas kopa mbojo maaf sudah mengambil hasil jepretan anda tanpa ijin, tujuan kita hanya semata memperkenalkan Dana Mbojo / bumi Ngaha Aina ngoho yang kita cintai.
4. DESA CAMPA
Campa adalah salah satu desa kecil yang letaknya di
kabupaten Bima, NTB, Khususnya di
kecematan Madapangga. Letakna memang jauh dari keraiman, tetapi campa juga menyimpan
keindahan alam yang mungkin banyak orang yang belum tahu akan hal ini.
Contohnya seperti wana wisata OI
TABA, kalo yang ini mungkin sudah banyak yang tahu, tetapi ada satu tempat yang
belum orang tahu letaknya yaitu AIR TERJUN, kalau dilihat air terjun ini bisa
dikelola untuk dijadikan sebagai wahana wisata dan bentuk wahana wisata
ini adalah semacam tempat meluncur tapi bedanya tempat meluncur terbentuk oleh
alam, jadi suasananya sangat extrim dan alami.
5. PANTAI KALAKI
Pantai
Kalaki adalah pantai berpasir yang cukup landai, terletak di sebelah selatan
kota Bima. Dari kota Bima, melewati Lawata menuju ke arah Lapangan Terbang
Palibelo. Di Kalaki, pengunjung bisa bermain air laut yang dangkal, atau piknik
sambil menikmati pemandangan laut teluk Bima. Pengunjung pantai kalaki umunya
berasal dari kota Bima dari Kecematan Woha Dan Belo/Palibelo.
Pada
waktu liburan seperti saat Aru Raja (Lebaran), pantai Kalaki ramai sekali. Para
pedagang jauh-jauh hari sudah mendirikan tenda-tenda di pinggir jalan sepanjang
pantai. Sebenarnya, pantai Kalaki tidaklah terlalu bagus. Pasirnya bercampur
lumpur sehingga kalau dilalui akan menjadi keruh. Di samping itu terdapat
banyak batu-batu yang cukup tajam jika diinjak, dan tentu sangat tidak nyaman
karena bisa menyandung. Pantai juga terlalu landai sehingga untuk mendapatkan
kedalaman yang cukup untuk berenang atau menyelam, pengunjung harus masuk jauh
ke dalam laut.
Jika
air laut surut, pemandangan menjadi tidak sedap lagi karena air menjadi sangat
jauh ke dalam sementara daratan yang ditinggalkannya tampak penuh batu yang
berserakan. Pemda Kabupaten Bima yang menjadi “pemilik” pantai Kalaki tampak
sudah melakukan beberapa “pembangunan” di pantai tersebut, berupa beberapa
shelter yang bisa digunakan oleh pengunjung untuk berteduh dan duduk-duduk.
Namun jumlahnya tentu tidak mencukupi saat pengunjung ramai seperti ketika Aru
Raja. Pengunjung akhirnya menggelar tikar dan berkelompok di kebun orang di
seberang pantai. Mereka umumnya mengadakan acara berbeque atau “bakar-bakar” di
tempat itu. Biasanya, yang dibakar adalah ayam dan ikan laut. Pantai Kalaki,
sekali lagi, menjadi pilihan masyarakat untuk piknik karena tidak banyak
pilihan yang lebih baik lagi. Pantai di teluk Waworada (sebelah timur Karumbu)
yang lebih indah dengan view pantai selatan sangat jauh dan fasilitas jalan
juga belum memadai. Dalam hal ini, Pemda Kabupaten Bima masih harus berperan
lagi dalam menata obyek wisata yang dibutuhkan oleh masyarakat
Kegiatan Festival Teluk Bima 2011 dipusatkan di pantai wisata Kalaki
Kalaki
Kabupaten Bima minggu (24/7). Warga kota Bima maupun kabupaten Bima berjubel
mengunjungi areal wisata itu untuk menyaksikan berbagai mata lomba yang digelar
di event yang baru pertama kali dilaksanakan di Bima itu. Sejak pukul 8 pagi
areal pantai kalaki mulai ramai dikunjungi warga untuk berwisata sekaligus
menyaksikan festival Teluk Bima.
M.
Irfan dari bima Kreatif selaku panitia pelaksana mengemukakan bawhwa festival
Teluk Bima merupakan salah satu upaya untuk mempromosikan pariwisata Bima
sekaligus mendukung program Visit Lombok and Sumbawa 2012. “ kegiatan-kegiatan
yang kita lakukan antara lain pawai budaya, lomba dayung tradisional dari
pantai Lawata menuju Kalaki, lomba perahu hias, lomba mendongeng untuk para
pelajar, lomba menangkap bebek, pagelaran kesenian, serta penganan ikan
sepanjang 1 KM.” urai Irfan di celah-celah kegiatan festival.
Sementara
itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bima H. Nurdin, SH
menyambut baik kegiatan festival yang digagas Forum Bima Kreatif bekerja sama
dengan Dinas Budpar, Dinas Kelautan Dan
Perikanan,
Basarnas, Perhubungan,Kepolisian dan Instansi terkait lainnya. “Kita berharap
event ini akan terus menjadi agenda tahunan untuk kita benahi pelaksanaannya
kedepan. “ Harap Nurdin.
Kegiatan
itu cukup menyedot perhatian masyrakat baik di kota maupun Kabupaten
Bima.Kegiatan festival berakhir hingga menjelang magrib dengan agenda terakhir
penarikan Door prize dari panitia.
6. OI WOBO, DESA MARIA
KECAMATAN WAWO
Obyek wisata yang satu ini merupakan
obyek wisata alam sekaligus sejarah. Karena tempat ini juga di kenal dengan
pesanggarahan (Tempat Peristirahatan) para pejabat Belanda dan dibangun pada
masa kolonial. Jaraknya hanya sekitar 20 menit perjalanan dari Kota Raba-Bima.
Suasana sejuk dengan jernihnya air dari kolam renang yang merupakan ciri khas obyek wisata ini. Oi Wobo terletak di desa Maria kecamatan Wawo.
Setiap akhir pekan Oi Wobo selalu dikunjungi wisatawan domestik. Obyek wisata ini sering pula digunakan oleh Jajaran Pemerintah Kabupaten Bima untuk rapat dan menggelar berbagai kegiatan.
Suasana sejuk dengan jernihnya air dari kolam renang yang merupakan ciri khas obyek wisata ini. Oi Wobo terletak di desa Maria kecamatan Wawo.
Setiap akhir pekan Oi Wobo selalu dikunjungi wisatawan domestik. Obyek wisata ini sering pula digunakan oleh Jajaran Pemerintah Kabupaten Bima untuk rapat dan menggelar berbagai kegiatan.
Menurut
Legenda, adanya mata air Wobo ini berawal dari keinginan Putera Mahkota
Kerajaan Bima untuk melakukan perjalanan dan petualangan ke arah Matahari
Terbit. Ketika di tengah hutan mereka kelaparan dan kehausan. Sementara bekal
mereka sudah habis. Akhirnya Putera Mahkota mengeluarkan tongkatnya dan Wobo
(Bima : Cambuk). Putera Mahkota memukul bebatuan di sekitar hutan itu, maka
keluarlah mata air dari celah bebatuan. Alangkah girangnya semua pengikut
Putera Mahkota itu. Mereka meminum sepuas-puuasnya.
Pada
perkembangan selanjutnya mata air itu mengalir menuju ke segala lini.
Masyarakat mendekati tempat itu dan mendirikan perkambungan yang hingga saat
ini dikenal dengan Rasa Wawo ( Kampung Atas). Karena lokasinya memang di daerah
pegunungan dengan cuaca yang dingin dan sejuk. Pada masa kolonial di sekitar
mata air ini dibangun sebuah tempat peristirahatan yang dikenal dengan
Pesanggarahan. Di Bima ada dua bangunan bersejarah yang dibangun semacam ini,
yaitu di Wawo dan Donggo. Keduanya memang berada di daerah pegungungan yang
dingin dan sejuk.
Pesanggrahan
dan Kolam Renang Oi Wobo adalah salah satu situs sejarah dan sumber PAD bagi
Pemerintah Daerah Kabupaten Bima. Biaya masuk ke lokasi ini sebesar Rp.5000
untuk kendaraan roda 4 dan Rp.1000 per orang. Perlu penataan dan pengelolaan
yang lebih professional dalam rangka memanfaatkan obyek wisata ini demi
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.
7.
PANTAI LARITI
Apabila
mengunjungi Pantai Lariti, Anda bisa
melihat laut terbelah dua, mirip kisah Nabi Musa ketika dikejar bala tentara
Firaun. Anda juga akan merasakan sensasi berjalan di atas air laut,” kata
Ikram, petugas salah satu hotel di Kota Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara
Barat, Minggu (22/5/2016).
Pantai Lariti terletak di wilayah selatan Kabupaten Bima, tepatnya Desa Soro, Kecamatan Lambu Sape. Lokasi pantai tidak jauh dari Pelabuhan Sape, gerbang laut yang menghubungkan Pulau Sumbawa dan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Dari Kota Bima, pantai ini bisa ditempuh satu jam perjalanan mengendarai mobil.
Bagi mereka yang tidak membawa kendaraan sendiri, tersedia mobil sewaan Rp 500.000 per hari atau sepeda motor sewaan Rp 150.000 per hari.
Memasuki wilayah selatan kabupaten seluas 4.374,65 kilometer persegi itu, akan terlihat warna asli kawasan yang bergunung-gunung dan hanya mendapat musim hujan kurang dari tiga bulan dalam satu tahun.
Seperti kelakar Wakil Bupati Bima Dahlan M Noor saat pembukaan operasi katarak yang diselenggarakan Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK). ”Kabupaten Bima punya dua warna, hijau dan coklat,” katanya.
Karakter daerah itu tergambar dari jalan beraspal hotmix berkelok-kelok naik-turun, yang separuhnya diapit kawasan hutan dan bukit terjal. Pada musim hujan, kawasan itu tampak hijau oleh pepohonan. Namun, tegakan pohon dan semak belukar meranggas dan coklat saat dibakar terik matahari kemarau. Bebatuan pun menyembul melalui lereng-lereng lahan bukit bertekstur batu bertanah.
Sekitar 14 kilometer perjalanan, kami singgah di kompleks rumah tradisional Desa Maria, Kecamatan Wawo, melihat Uma Lengge (rumah mengerucut) dan Uma Jompa. Rumah itu di jadikan lumbung padi dan hasil bumi lain.
Letak kompleks rumah-rumah itu agak jauh dari permukiman warga agar aman dari kebakaran yang kerap terjadi saat musim kemarau sehingga stok pangan aman dari jilatan api sampai menjelang panen.
Kegersangan berlanjut ke Desa Soro, jalan menuju Pantai Lariti. Putaran roda mobil melamban menyusuri bukit gersang, melindas jalan datar berbatu- berdebu yang baru diuruk, dan mengitari petak-petak kolam usaha tambak yang sedang dalam proses pembangunan.
Dari atas bukit terlihat beberapa pulau kecil disertai warna air laut, yang seakan tersambung dari Pantai Lariti ke Samudra Indonesia.
Sore itu air di teluk tengah surut. Dari kejauhan terlihat panorama Pantai Lariti berupa terumbu karang bagai jalan membentang membelah laut sepanjang 100 meter dari bibir pantai hingga Nisa Lampa Jaram, pulau persinggahan alias ladang ternak kuda merumput.
Laut yang tampak ”terbelah dua” selebar 20 meter itulah bagai dalam kisah Nabi Musa AS. Setelah mencelupkan tongkat mukjizatnya, Laut Merah tersibak dua. Lewat lorong air itulah Nabi Musa dan umatnya berjalan menyelamatkan diri dari kejaran bala tentara Firaun.
Pantai Lariti akan mengundang pengunjung untuk berwisata sekaligus mengagumi fenomena alam laut "terbelah dua".
Pantai Lariti terletak di wilayah selatan Kabupaten Bima, tepatnya Desa Soro, Kecamatan Lambu Sape. Lokasi pantai tidak jauh dari Pelabuhan Sape, gerbang laut yang menghubungkan Pulau Sumbawa dan Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Dari Kota Bima, pantai ini bisa ditempuh satu jam perjalanan mengendarai mobil.
Bagi mereka yang tidak membawa kendaraan sendiri, tersedia mobil sewaan Rp 500.000 per hari atau sepeda motor sewaan Rp 150.000 per hari.
Memasuki wilayah selatan kabupaten seluas 4.374,65 kilometer persegi itu, akan terlihat warna asli kawasan yang bergunung-gunung dan hanya mendapat musim hujan kurang dari tiga bulan dalam satu tahun.
Seperti kelakar Wakil Bupati Bima Dahlan M Noor saat pembukaan operasi katarak yang diselenggarakan Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK). ”Kabupaten Bima punya dua warna, hijau dan coklat,” katanya.
Karakter daerah itu tergambar dari jalan beraspal hotmix berkelok-kelok naik-turun, yang separuhnya diapit kawasan hutan dan bukit terjal. Pada musim hujan, kawasan itu tampak hijau oleh pepohonan. Namun, tegakan pohon dan semak belukar meranggas dan coklat saat dibakar terik matahari kemarau. Bebatuan pun menyembul melalui lereng-lereng lahan bukit bertekstur batu bertanah.
Sekitar 14 kilometer perjalanan, kami singgah di kompleks rumah tradisional Desa Maria, Kecamatan Wawo, melihat Uma Lengge (rumah mengerucut) dan Uma Jompa. Rumah itu di jadikan lumbung padi dan hasil bumi lain.
Letak kompleks rumah-rumah itu agak jauh dari permukiman warga agar aman dari kebakaran yang kerap terjadi saat musim kemarau sehingga stok pangan aman dari jilatan api sampai menjelang panen.
Kegersangan berlanjut ke Desa Soro, jalan menuju Pantai Lariti. Putaran roda mobil melamban menyusuri bukit gersang, melindas jalan datar berbatu- berdebu yang baru diuruk, dan mengitari petak-petak kolam usaha tambak yang sedang dalam proses pembangunan.
Dari atas bukit terlihat beberapa pulau kecil disertai warna air laut, yang seakan tersambung dari Pantai Lariti ke Samudra Indonesia.
Sore itu air di teluk tengah surut. Dari kejauhan terlihat panorama Pantai Lariti berupa terumbu karang bagai jalan membentang membelah laut sepanjang 100 meter dari bibir pantai hingga Nisa Lampa Jaram, pulau persinggahan alias ladang ternak kuda merumput.
Laut yang tampak ”terbelah dua” selebar 20 meter itulah bagai dalam kisah Nabi Musa AS. Setelah mencelupkan tongkat mukjizatnya, Laut Merah tersibak dua. Lewat lorong air itulah Nabi Musa dan umatnya berjalan menyelamatkan diri dari kejaran bala tentara Firaun.
Pantai Lariti akan mengundang pengunjung untuk berwisata sekaligus mengagumi fenomena alam laut "terbelah dua".
8.
PULAU ULAR
(
Versesofuniverse.blogspot.com)
dI Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB),
ada sebuah pulau yang penuh dengan ribuan ular laut. Pulau yang terletak kurang
lebih 500 meter dari Pantai Oi Caba di Kecamatan Wera ini adalah sebuah pulau batu kecil yang tidak dihuni oleh manusia. Dengan menaiki perahu dari pantai, pulau ini
dapat dicapai dalam waktu kurang lebih 20 menit.
Pulau ular ini
oleh masyarakat sekitar diberi nama Nusa Nipa. Sementara warga Ende, Flores
menjuluki pulau ini dengan nama Nuca Nepa Lale, atau pulau ular yang indah.
Sementara warga Manggarai memberi nama Nuha Ula Bungan, atau pulau ular yang
suci. Bagi masyarakat sekitar, ular-ular di pulau ini bukanlah sesuatu yang
ditakuti.
Sejak pulau
ular mulai dikenal dan dikunjungi, masyarakat sekitar mendapatkan rezeki dengan
menjadi guide dan menyewakan kapal ke pulau itu.
Masyarakat sekitar yang mendatangi pulau itu tidak merasa takut sedikitpun
untuk menyentuh ular-ular yang ada. Mereka bahkan dengan santai memasukkan
tangan ke celah-celah tebing batu untuk mengambil ular yang bersembunyi.
Menariknya,
ular laut di pulau ini juga mendatangi orang apabila dipanggil. Meskipun
begitu, pengunjung dari daerah lain tidak bisa sembarang menyentuh ular begitu
sampai di pulau itu. Kabarnya, ular di pulau harus terlebih dahulu dipegang
oleh orang lokal, jika tidak, bisa digigit oleh ular itu. Untuk memegang ular
tidak perlu menggenggam dengan erat, cukup biarkan ular berkeliaran di tangan
Anda.